Proyek Kereta Cepat dan Ambisi Infrastruktur Jokowi
Oleh: Ronny P. Sasmita (Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution)
Secara umum, tentu tak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah yang sangat agresif dalam investasi infrastruktur, termasuk kereta cepat rute Jakarta-Bandung, meskipun sejatinya pemerintah perlu memberi prioritas pada infrastruktur dasar dan infrastruktur industrial.
Masalahnya, secara ekonomi, pertama, kebijakan infrastruktur Presiden Jokowi cenderung dihadirkan untuk infrastruktur itu sendiri alias kurang terintegrasi dengan penguatan kapasitas produksi nasional, terutama sektor-sektor utama yang menjadi fondasi perekonomian nasional, seperti sektor industri (manufaktur dan industri strategis) dan sektor pertanian.
Jadi, tak mengherankan kalau ramainya proyek-proyek infrastruktur justru berbanding terbalik dengan situasi industri nasional yang kian mengalami deindustrialisasi atau, misalnya, berbarengan dengan makin terpuruknya industri strategis nasional sekelas Krakatau Steel dan kelebihan produksi industri semen nasional atau makin dikuasainya pasar dalam negeri oleh produk-produk manufaktur dari negara lain, terutama Cina. Jokowi semestinya tidak hanya memikirkan bagaimana jalan di desa bagus mulus, tapi juga bagaimana cabai, sayur, jagung, padi, bawang, dan hasil pertanian lainnya juga meningkat.
Tidak hanya terdorong untuk memperbanyak penampakan infrastruktur komersial, pemerintah Jokowi juga perlu memikirkan bagaimana produk-produk manufaktur dan industri strategis nasional bisa meningkat kualitas serta produktivitasnya agar masyarakat dan pelaku ekonomi dalam negeri juga bisa memanfaatkan dan meningkatkan daya saing pada saat konektivitas menjadi semakin lancar. Kalau tidak berbarengan dengan perbaikan kapasitas dan daya saing produksi dalam negeri, maka pada saat konektivitas nanti lancar, justru barang impor yang akan menikmati berkurangnya biaya transportasi dan semakin murah sehingga membuat produk dalam negeri menjadi semakin sulit bersaing. Bahkan, boleh jadi, ini pula yang menjadi salah satu sebab mengapa inflasi ikut terkerek sangat rendah selama ini.
Kedua, Jokowi dan tim ekonominya selama ini menjadikan infrastruktur sebagai salah satu jalan keluar untuk menahan pelemahan pergerakan ekonomi nasional. Sebagaimana sesumbar pemerintah, kebijakan countercyclical diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa memberi penekanan pada kualitas pertumbuhan itu sendiri. Sangat bisa dipahami bahwa, jika pemerintah tidak habis-habisan mendorong proyek-proyek infrastruktur dengan berbagai skema pembiayaan, otomatis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh di bawah raihan selama ini, boleh jadi sekitar 4 persen saja, misalnya.
Celakanya, dengan memobilisasi input ekonomi sedemikian rupa, sebagaimana rekomendasi para penganut mazhab neoklasik, tanpa dilandasi intensi penguatan strategis tatanan ekonomi nasional, kebijakan ini berisiko menjadikan angka-angka raihan, yang digadang-gadang lebih tinggi dari negara tetangga itu, hanya menjadi angka "ompong". Setiap input ekonomi yang dikunyah justru mengenyangkan negara lain dan beberapa pihak oligarki dalam negeri. Di sisi lain, perekonomian nasional berdiri dengan tubuh yang besar tapi tak berotot dan minim vitalitas.
Ketiga, kebijakan infrastruktur pemerintah sejak era Jokowi nyaris secara kasatmata menjadi pasar dan sumber nutrisi bagi ekonomi negara lain karena tidak didukung oleh industri dalam negeri yang akan menjadi bahan dasar proyek-proyek infrastruktur. Walhasil, hampir semua barang modal, pembiayaannya, jasa pengerjaan (kontraktor), dan bahkan tenaga kerja didatangkan dari luar negeri. Impor barang modal dan barang konsumsi meningkat seiring menggunungnya utang perusahaan-perusahaan pelat merah di bidang konstruksi. Ini berbeda dengan Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan sekarang Cina. Keempat negara tersebut menjadikan proyek infrastruktur sebagai bagian dari proyek industrialisasi nasional mereka sehingga infrastruktur tidak hanya menjadi salah satu bentuk kebijakan countercyclical pemerintahan, tapi juga tahapan dalam mematangkan proses industrialisasi di negara mereka masing-masing.
Keempat, dari sudut ekonomi politik, saya menduga proyek-proyek infrastruktur juga menjadi salah satu bagian dari politik balas budi Jokowi kepada sejumlah pihak, terutama oligark ekonomi yang telah berjasa kepada koalisi politik pemerintahan Jokowi selama ini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa, sejak Orde Baru tumbang, semakin hari kue ekonomi nasional semakin menjadi bancakan oleh para oligark warisan rezim lama dengan konsesi-konsesi pembiayaan politik pada berbagai aktor dan partai politik. Bahkan tak sedikit di antara oligark ekonomi tersebut telah lama "menginvasi dunia politik", menduduki partai-partai, dan kemudian akhirnya terang-terangan berdiri bersama kekuasaan hasil kontestasi demokrasi elektoral.
Dalam konstelasi ekonomi politik semacam itulah proyek kereta cepat hadir. Perpaduan antara tatanan ekonomi oligarkis dan ambisi global Cina termanifestasi dengan sangat vulgar dalam proyek ini. Karena itu, urusan kereta cepat lebih kompleks daripada yang kita bayangkan karena tidak hanya terkait dengan kalkulasi ekonomi, bisnis, dan keuangan yang sangat oligarkis di ranah domestik, tapi juga terkait dengan ambisi merkantilisme global Cina dalam mendorong platform Belt and Road Initiative (BRI) atau Maritime Silk Road.
Secara matematis, tentu Indonesia kalah banyak dan Cina menang banyak. Kasarnya, Indonesia ibarat membeli kereta api mainan yang sudah jadi dari salah satu pabrikan mainan Cina karena mulai dari pembiayaan (utang kolaborasi empat badan usaha milik negara/BUMN), pengerjaan, suplai barang modal (termasuk teknologi), hingga sebagian tenaga kerja, Cina justru menang banyak. Ketika proyek nanti selesai, ongkosnya pun diperkirakan sangat mahal karena ternyata membengkak menjadi sangat besar.
Secara geoekonomi, Cina juga menang banyak. Sedari awal kita semestinya paham bahwa Belt and Road Initiative bukan hanya simbol penguatan Cina di pentas ekonomi global, tapi juga simbol peningkatan komplikasi persoalan pada banyak badan usaha milik negara Cina, terutama sejak krisis keuangan global 2008, ketika Cina menyuntikkan stimulus 4 triliun yuan dalam bentuk kredit yang membuat perusahaan–perusahaan pelat merah industri strategis Cina sangat kelebihan produksi. Besi, baja, aluminium, dan semen berlimpah di dalam negeri Cina, tapi, di sisi lain, terjadi gelembung utang dan pasar properti.
Dengan menerima mentah-mentah platform ekonomi merkantilisme Cina tersebut, baik secara langsung maupun tak langsung, proyek BRI menjadi salah satu jawaban bagi Cina dalam membereskan berbagai persoalan BUMN industri strategisnya. Persoalan tersebut juga dialami oleh BUMN seperti China Railway yang kurang bagus buku neracanya. Pemerintah Cina akan ikut terlibat memperbaiki balance sheet BUMN jika perusahaan berhasil menjual jasa konstruksi di luar Cina (services exports) dengan jaminan pembiayaan dari the big four BUMN perbankan Cina, seperti China Development Bank (CBD). Dengan kata lain, jika pemerintah tak jeli, proyek-proyek infrastruktur di Indonesia akan menjadi instrumen Cina dalam memperbaiki ekonomi negaranya, bukan malah memperbaiki ekonomi nasional Indonesia.
Dengan kondisi yang sudah demikian, saya kira, pemerintah perlu menghitung ulang proyek kereta cepat ini sedari awal. Jika ternyata tak masuk akal secara bisnis dan kurang fungsional terhadap perbaikan kapasitas ekonomi nasional, sebaiknya dibatalkan dan diulang kembali sedari awal dengan kalkulasi yang lebih masuk akal dan mitra yang lebih bisa bergandengan dengan kepentingan nasional Indonesia ketimbang masuk ke dalam skema "jebakan utang" seperti yang dialami Sri Lanka atau Jibouti, misalnya, ketika pada akhirnya proyek menjadi milik Cina dalam rentang waktu yang panjang. Malaysia membatalkan proyek kereta cepatnya dengan Singapura. Montenegro baru-baru ini juga menoleh ke Uni Eropa untuk meminta bantuan agar terlepas dari skema merkantilisme tersebut. Indonesia bisa belajar banyak dari kedua negara ini.(*)
*Sumber: OPINI Koran Tempo (11/11/2021)