[PORTAL-ISLAM.ID] Bagi pencinta balap motor, keberadaan Sirkuit Mandalika adalah sebuah pencapaian membanggakan lantaran menunjukkan Indonesia mampu menggelar even balapan tingkat dunia.
Mereka bisa berlibur ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sambil menikmati pacuan kuda besi itu.
Sebaliknya, bagi warga Dusun Bunut, Desa Kuta, Lombok Tengah, keberadaan Sirkut Mandalika jadi polusi suara.
Sebab, mereka berada di tengah-tengah Sirkuit Mandalika, tepatnya di sisi kanan pebalap ketika rider melewati Tikungan 5, 6, 7, dan 8.
Tak heran, jika suara motor dengan kecepatan ratusan kilometer per jam itu terasa mengganggu, berisik sekali. Namun, mereka tak bisa melawan suara tersebut.
"Kalau terganggu (suara motor) pasti iya, tapi mau gimana lagi," kata Reme salah seorang warga Desa Bunut, Jumat (19/11/2021).
Warga Dusun Bunut mayoritas adalah nelayan dan peternak sapi. Sapi-sapi di tengah Sirkut Mandalika itu adalah milik mereka.
Namun, pihak ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) selaku pengelola Sirkuit Mandalika mewanti-wanti agar sapi diikat selama WSBK Mandalika berlangsung.
"Sapi di sini semuanya terikat. Banyak juga yang masuk kandang," kata Reme.
"Panitia WSBK (World Superbike) sudah mewanti-wanti agar sapi tidak lepas, jadi sudah kami ikat," ujar dia melanjutkan.
Selama ajang World Superbike (WSBK) Mandalika berlangsung, warga Dusun Bunut harus memakai gelang pengenal untuk bisa akses keluar masuk.
Tanpa gelang tersebut, jangan harap mereka bisa melewati penjagaan ketat WSBK Mandalika.
Adapun Dusun Bunut yang berada di tengah Sirkuit Mandalika itu masih didiami sekitar 48 kartu keluarga (KK).
Dari 48 KK tersebut, masih banyak balita di dalamnya. Sementara suara motor tak bisa melihat usia ataupun lawan jenis siapa yang mendengarnya.
Bagi balita, jam tidur mereka tak seperti orang dewasa. Mereka butuh banyak waktu untuk memejamkan mata. Akan tetapi, suara motor knalpot ber-cc tinggi tentu sangat mengganggu.
Warga Dusun Bunut seperti 'terpenjara' di tengah Sirkuit Mandalika lebih dari satu minggu lamanya.
Warga Desa Bunut sejatinya bersedia untuk pindah. Beberapa dari mereka juga sudah memiliki tujuan daerah baru untuk disinggahi.
Soal harga, ITDC dan warga juga sudah sepakat di angka Rp75 juta per are (100 meter persegi). Rata-rata dari mereka memiliki lebih dari 20 are untuk satu keluarga besar (lebih dari satu KK).
"Harga tanah sudah setuju Rp75 juta per are. Tapi ini ada bangunan, dan mereka belum kasih harga (untuk bangunan)," sambung Suprayadi, warga Desa Bunut lainnya.
"Kami bersedia pindah, tetapi tanah dan bangunan belum dibayar," kata dia. [kompastv]