Makna "لا إله إلا الله" Bergeser?
Oleh: Rifqi firmansyah, Lc
Tulisan ini saya tujukan untuk membantah pernyataan Buya Syakur dalam ceramahnya di Mabes Polri, dimana beliau mengatakan "makna laa ilaha illallah telah mengalami pergeseran makna", kemudian beliau menyebutkan hadits...
من قال لا إله إلا الله دخل الجنة
"Barang siapa mengatakan laa ilaaha illallah maka ia akan masuk syurga".
Dan juga hadits...
من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة
"Barang siapa akhir kalamnya sebelum wafat adalah laa ilaaha illallah maka ia masuk syurga".
Buya Syakur mengatakan bahwa hadits diatas, yang dimaksud bukanlah hanya ucapan kalimat tauhid itu yang menjadikan seorang manusia masuk syurga, tapi maksud dan makna hadits inilah yang menjadikan seseorang masuk syurga.
Beliau menjelaskan bahwa makna dan maksud hadits tersebut adalah, bahwa kalimat tauhid ini adalah kalimat Persatuan, karena makna tauhid adalah satu, jadi yang Allah minta dari kalimat tauhid adalah persatuan manusia, persamaan manusia, tidak merasa paling benar, bhineka tunggal ika, bukan hanya sekedar ucapan.
"Bagaimana bisa manusia masuk syurga hanya dengan sekedar mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah saja? ini tidak masuk akal!" ujarnya.
Saya heran saja dengan pemikiran yang didasari dengan kedunguan ini, sungguh haluu sekali, kok bisa-bisanya ada orang muncul pada zaman yang ketemu ulama mujtahid kagak, ketemu tabiut tabiin kagak, ketemu tabiin kagak, ketemu sahabat kagak, apalagi ketemu nabi, tiba-tiba menafsirkan kalimat Tayyibah sak penak udele dewe.
Saya mengakui, sebenarnya buya ini orang pintar. Buya ini banyak hafal ayat Qur'an, hafal banyak Hadits, hanya saja kesalahannya beliau adalah menafsirkan Qur'an dan Hadits dengan seenaknya sendiri, atau dengan akalnya saja, dan itu sungguh sangat berbahaya.
Kembali ke tema, apakah makna kalimat "لا إله إلا الله" bergeser?
Sungguh tidaaaaaak.
Kalau anda banyak membaca kitab-kitab aqidah yang ditulis para ulama, anda tidak akan menemukan makna kalimat itu kecuali yang diinginkan adalah mengesakan Allah, tauhidullah, bukan menyatukan manusia.
Dan dua hadits diatas, yang diinginkan hanya sekedar "ucapan saja", yang memang begitu, dalam Islam "ucapan" itu bukan hanya sekedar, tapi ada konsekwensi darinya.
Bukankah untuk masuk kedalam agama islam hanya dengan sekedar melafadzkan kalimat tauhid, dan keluar agama islam (murtad) juga hanya dengan sekedar ucapan saja?
Bukankah jatuh talak seorang istri hanya dengan sekedar ucapan suami kepada istri "kamu saya talak".
Bukankan Rasulullah marah kepada Usamah bin Zaid ketika membunuh musuh yang melafadzkan kalimat syahadat karena takut dibunuh olehnya?
Dalam hadits lain juga disebutkan,
المسلم من سلم المسلمون من لسانه و يده
"Seorang muslim yang hakiki adalah ketika muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya."
Dalam Islam, ucapan bukan hanya sekedar ucapan, tapi ada konsekwensi dari setiap ucapan.
Maka hati-hatilah dalam berucap, ucapkan yang baik-baik atau kalau tidak bisa ya diamlah.
"Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat." (HR. Muslim no. 2988).
Jangan suka membuat-buat tafsir sendiri atau malah anda terlihat dungu, apalagi menyalahkan penafsiran para ulama sungguh kehaluan yang nyata.
Dan agama Islam itu mudah, jangan dipersulit apalagi diperumit oleh filsafat yang jelimet itu, Begitulah nabi kita menjelaskan:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
"Agama Islam itu mudah."
Masuk surga hanya sekedar mengucap "لا إله إلا الله" saja? Ya faktanya memang begitu.
Bagaimana jika seseorang mengucapkan kalimat itu kemudian melakukan banyak dosa? Ya tetap masuk syurga, tapi dibersihkan dulu dosanya di neraka dalam waktu yang tidak ditentukan, sehingga ketika dosanya habis maka ia diangkat ke syurga, berbeda dengan seseorang yang tidak mau mengucapkan kalimat itu, maka sebanyak apapun ia berbuat baik, ia kekal disana.
Wallahu a'lam.