[PORTAL-ISLAM.ID] Siapa yang tidak kagum dengan megahnya bangunan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Di balik kemegahannya itu, ada tangan-tangan ajaib yang mampu membuat masjid-masjid suci itu menakjubkan.
Tapi pernahkah terpikirkan siapa sosok di balik kemegahan Masjid Agung itu. Dia adalah Muhammad Kamal Ismail, seorang arsitek muda yang lahir di Provinis Dakahlia di Kota Mit Ghamr.
Insinyur asal Mesir itu diminta Raja Fahd bin Abdul Aziz untuk merencanakan dan melaksanakan perluasan dua masjid suci. Kamal, laki-laki kelahiran 13 September 1908 itu memang jauh dari sorotan, tapi buah karyanya tak bisa diragukan.
Muhamamd Kamal Ismail, lahir pada 13 September 1908. Ia lahir dalam generasi keturunan profesor, dan merupakan seorang arsitek yang berasal dari Mesir. Salah satu pencapaian terbesarnya ialah pembangunan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, yang ditugaskan kepadanya oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz (1921-2005).
Ia disebutkan sebagai orang termuda dalam sejarah Mesir yang memperoleh sertifikat sekolah menengah, yang lanjut terdaftar di Royal School of Engineering untuk pertama kalinya, dan kembali menjadi yang termuda selepas lulus dari sekolah itu.
Ia kemudian dikirim ke Eropa untuk mendapatkan tiga gelar doktor dalam Arsitektur Islam. Tak hanya itu, ia juga mendapatkan syal “Nil” dan pangkat “Besi” dari sang raja, demikian dilansir dari laman Isma Times.
Hidupnya selama hampir genap seratus tahun (13 September 1908 - 2 Agustus 2008) ia habiskan untuk membangun dua masjid suci, yang jauh dari sorotan media massa, popularitas dan juga uang. Bahkan, ia terang-terangan menolak bayaran sepeserpun sebagai ganjarannya atas desain arsitekturnya.
Ketika Raja Fahd dan Perusahaan bin Laden menawarkan cek kosong untuk diisi sendiri Ismail, dia menolak dengan sopan.
Ia lantas mengembalikan cek yang ditawarkan Raja Fahd dan perusahaan Bin Laden. Ia mengatakan, “Mengapa saya harus menerima uang (untuk pekerjaan yang saya lakukan) atas dua masjid suci ini, bagaimana nantinya saat saya menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala (di yaumul hisab)?”
Dalam proses merancang masjid suci itu, pria cerdas ini mengidekan untuk menggunakan marmer khusus yang akan menutupi lantai Masjidil Haram yang biasa dipakai untuk tawaf. Kelebihannya, marmer ini berbahan anti panas, yang hanya tersedia di gunung kecil di Yunani.
Demi mewujudkan arsitektur sesuai rancangannya, ia melakukan perjalanan ke Yunani, dan menandatangani kontrak untuk membeli jumlah yang cukup untuk seluruh lapisan dasar dari Masjidil Haram, yakni sekitar hampir dari setengah gunung.
Saat kembali ke Makkah, ia mendapati marmer tersebut telah datang dan segera menempatkan marmer-marmer itu di lantai masjid suci tersebut hingga rampung.
Selang 15 tahun berlalu, pemerintah Saudi kembali menghubunginya dan meminta jenis marmer serupa untuk melapisi dasar masjid suci di Madinah (Masjid Nabawi). Mendengar permintaan tersebut, Kamal menjadi cukup bingung karena hanya ada satu tempat yang memproduksi marmer ini, yakni Yunani.
Terlebih transaksi yang pernah ia lakukan sudah sangat lama terjadi. Kamal kemudian bergegas pergi ke perusahaan yang dulu ia sambangi di Yunani dan izin untuk bertemu dengan pemimpin perusahaan itu.
Saat menanyakan sisa marmer yang masih tersimpan, pemilik perusahaan itupun mengatakan bahwa semuanya telah terjual setelah Kamal membelinya 15 tahun silam.
Bersedih, Kamal kemudian meninggalkan gedung itu seraya mengatakan pada sekretaris di sana untuk memberitahunya jika mengetahui keberadaan seseorang yang membeli sisa stok marmer terakhir saat itu.
Responsnya mengatakan bahwa hal tersebut cukup sulit, lantaran ia harus membuka kembali catatan lama beberapa tahun silam untuk mengetahui keberadaan pembeli itu. Kamal pun berserah diri, berharap Allah akan mengizinkan sesuatu hal baik akan terjadi.
Tak disangka, hari berikutnya, sekretaris memberitahu Kamal melalui panggilan telepon bahwa ia menemukan alamat pembeli. Ia pun kembali menuju kantor marmer tersebut dan melihat alamatnya, seketika ia merasa kaget lantaran alamat pembeli yang tertulis ialah sebuah perusahaan Arab Saudi.
Ia pun langsung bergegas untuk kembali ke Arab Saudi pada hari yang sama, dan sesampainya, ia segera menuju ke perusahaan yang membeli marmer tersebut. Bertemu dengan seseorang dari bagian admin, ia menanyakan tentang keberadaan marmer yang pernah dibeli oleh perusahaan tersebut dari Yunani.
Langsung saja, orang tersebut menghubungi ruang stok perusahaan. Takjubnya, marmer putih asal Yunani tersebut tersedia dalam jumlah yang lengkap, dan tak pernah digunakan sama sekali.
Suasana berubah menjadi penuh haru. Seraya menitikkan air mata, Kamal menceritakan kisah panjangnya tersebut kepada pemilik perusahaan itu. Kamal tak segan memberikan cek kosong dan memintanya untuk menuliskan jumlah yang orang itu inginkan.
Namun, setelah mengetahui bahwa marmer tersebut akan dipergunakan untuk pembangunan Masjid Nabawi, pemilik perusahaan itu pun menolak dengan sopan.(*)