Rakyat Kecil Yang Jadi Korban
Kasus keributan di Mie Gacoan Kotabaru Jogja, semestinya menjadi sinyal tanda bahaya. Bahwa kondisi ekonomi rakyat tidak sedang baik-baik saja. Tersulut sedikit saja, mudah sekali terjadi kericuhan.
Tadi malam, Sabtu (13/11/2021), seorang tukang ojol dikeroyok oleh karyawan Mie Gacoan. Pasalnya sang ojol, sempat kecewa berat dan menendang kursi. Setelah pesanannya di-cancel pihak pemesan.
Beberapa informasi yang berkembang, sebelumnya terjadi antrian panjang. Sudah begitu, pesanan online sempat disalip oleh layanan offline. Sehingga waktu tunggu konsumen ojol menjadi makin lama. Walhasil, pemesan meng-cancel orderan.
Karyawan Gacoan yang konon juga bekerja di bawah tekanan, ikut emosi melihat driver ojol itu kesal. Enam orang keluar dari dapur dan hendak melakukan pengeroyokan.
Aksi pembelaan pun kemudian dilakukan oleh ratusan driver ojol. Mereka menunjukkan rasa solidaritas terhadap driver ojol yang sempat dikeroyok. Keributan berlangsung hingga Minggu dini hari. Sebelum berakhir dengan kesepakatan damai dimediasi pihak kepolisian.
Enam karyawan Gacoan diberhentikan, sekaligus dilaporkan ke pihak kepolisian. Gacoan akan tutup sementara waktu.
***
Mencoba berempati kepada driver ojol, juga kepada karyawan Gacoan yang sama-sama sebagai pekerja.
Dicancel, apalagi harus menanggung pembayaran adalah momok bagi driver ojol. Perfomanya langsung turun drastis, akibatnya akan sulit mendapatkan pelanggan. Sementara pesanan yang belum dibayar padahal sudah dibuat, juga harus ditanggung. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Sementara itu, mencoba memahami kondisi karyawan Gacoan, menurut warganet, sangatlah berat. Apalagi di cabang Kotabaru yang tidak mematikan pemesanan saat sudah terjadi antrian panjang.
"Harus siap dua jam, kalau pesan di Gacoan Kotabaru," tulis seorang warganet.
"Semestinya kalau sudah over seperti itu, pesanan ditutup sementara dulu," sahut warganet lain.
Kenyataannya pihak pemilik tidak mau rugi dengan menutup pesanan, bila sudah overload. Kalau bisa gas, kenapa malah direm? Maka pesanan makanan pun mengalami penumpukan, antrian panjang. Baik antrian pemesan juga antrian di dapur.
Lalu, kembali rakyat kecil yang dikorbankan. Padahal kontribusi kesalahan sebenarnya juga dilakukan pihak manajemen hingga owner.
Karyawan yang diputus kontrak, masih harus menjalani proses hukum. Padahal bisa jadi, pekerjaan itu adalah tumpuan keluarga.
***
Secara makro, pertumbuhan ekonomi dan PDB Indonesia memang selalu meningkat. Namun ternyata kesenjangan ekonomi, yang ditandai dengan rasio gini, juga membesar. Artinya terjadi kesenjangan yang makin menganga antara kaya dan miskin.
Praktik seperti kasus Gacoan itu seperti mengkonfirmasi bahwa yang lemah selalu lemah. Sementara yang kuat akan makin kaya.
Kondisi seperti itu, bila dibiarkan berlangsung terus, bisa beresiko terjadinya problem sosial hingga politik. Tidak sekedar problem ekonomi. Bisa seperti minyak yang mudah tersulut api, menjadi kebakaran besar.
Kita bisa berharap kepada siapa? Politisi? Ah, bukannya mereka hanya produksi janji-janji? Paling sekedar diajak selfi atau berfoto sambil menanam padi.
Jangan terlalu berharap kepada manusia. Ayo bekerja keras, cerdas dan tuntas agar semakin sejahtera. Sambil terus memohon kepada Allah agar diberikan rezeki yang thayyiban.
Allahu a'lam.
(Setiya Jogja)
Kasus konflik Ojol dng Gacoan Jogja menunjukkan adanya ketidakadilan dalam 2 bentuk:
— Arif Novianto (@arifnovianto_id) November 14, 2021
📌 Waktu kerja tak dibayar yg dialami ojol, mereka harus menunggu makanan disiapkan lebih dari 1 jam tpi dibayar murah (6,4k - 8k)
📌 Kerja berlebih yg dialami buruh Gacoan tpi dibayar UMR Jogja https://t.co/B5S8gIN0bL