Tindak Pidana NEPOTISME
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Selagi saya sanggup, semua undangan bicara soal skandal PCR, saya iyakan. Saya mau terus bersuara di mana-mana tentang nilai dan prinsip.
Tadi siang sampai malam ini, saya sambangi podcast Akbar Faizal dan Refly Harun. Sebelumnya, ILC dan Catatan Demokrasi TV One. Ada juga RCTI wawancara untuk sebuah program investigasi.
Saya bicara hal yang sama: pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Saya sodok mengenai moral, etika, dan potensi pelanggaran norma hukum.
Saya makin menukik 'mengampanyekan' tindak pidana NEPOTISME yang diduga melibatkan Menteri BUMN ET dan Menko Marives LBP.
Alasan: itu amanat Reformasi 1998, tertuang dalam TAP MPR (TAP MPR XI/1998 dan TAP MPR VIII/2001). Tak hanya korupsi dan kolusi tapi NEPOTISME adalah racun yang merusak metabolisme negara. Menghancurkan akhlak.
Orde Baru jatuh karena faktor itu juga!
Anti-Nepotisme tak cuma imbauan moral dan etis. Sesungguhnya, ia merupakan norma hukum. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. (Pasal 22 UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN).
Unsur-unsurnya: 1) setiap penyelenggara negara; 2) secara melawan hukum; 3) menguntungkan kepentingan keluarga dan kroni di atas kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat.
Proses hukum terhadap tindak pidana nepotisme sangat langka di Indonesia, padahal ia merupakan pintu masuk korupsi. Satu contoh yang pernah naik adalah kasus Bupati Seluma Murman Effendi (PN Bengkulu). Itu artinya nepotisme bukan mustahil diproses sebagai perkara hingga pengadilan.
Kuncinya adalah pada politik penegakan hukum Presiden Jokowi. Ia mau menjadi satpam (pengaman) oligarki-nepotis atau pemimpin sejati yang progresif dan adil.
Basis argumen nepotisme itu akan saya pakai untuk menegasi sejumlah narasi yang dilempar tetangga sebelah belakangan ini, yang saya nilai sudah menyimpang jauh dari cita-cita Reformasi, kebenaran, dan keadilan.
Tujuan narasi-narasi itu ingin mendegradasi sebuah nilai, prinsip, dan norma hukum menjadi sekadar urusan ha-ha-hi-hi dan 'perasaan' pribadi.
Mereka ingin 'mendidik' rakyat agar tetap menjadi patuh dan bodoh! Sebab, dengan keadaan rakyat yang seperti itulah, mereka bisa terus menerus melestarikan kekuasaan.
(1) MENGAPA HANYA FOKUS KE ET DAN LBP DALAM SKANDAL PCR?
Tak lain dan tak bukan karena posisi keduanya sebagai penyelenggara negara. Tak hanya dalam jabatannya sebagai menteri, keduanya diangkat melalui Perpres 82/2020 sebagai Wakil Ketua I (LBP) dan Ketua Pelaksana (ET) Komite Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Dalam Komite itu ada 3 organ: 1) Komite Kebijakan; 2) Satgas Covid-19; 3; Satgas PEN. Tugas dan wewenang ET adalah mengintegrasikan 3 organ itu.
Artinya adalah dalam jabatannya ET dan LBP mengetahui, berwenang, memiliki akses, dan terlibat dalam keseluruhan kebijakan Covid-19 dan PEN, termasuk kebijakan tentang PCR.
(2) ET TIDAK ADA KAITAN DENGAN YAYASAN ADARO, LBP SAHAMNYA HANYA 10% DI TOBA
Tidak benar. ET berelasi dengan Yayasan Adaro melalui hubungan keluarga dengan kakaknya, Boy Thohir.
Boy Thohir adalah Presdir PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang mengendalikan PT Adaro Indonesia melalui kepemilikan 88%. PT Adaro Indonesia adalah pendiri Yayasan Adaro. Boy Thohir adalah anggota Dewan Pembina Yayasan Adaro. Yayasan Adaro menguasai 485 lembar saham PT GSI.
LBP adalah pemilik PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) yang mengendalikan PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra yang mana keduanya pemegang saham PT GSI. (242 lembar masing-masing).
Artinya adalah terdapat dugaan kuat afiliasi karena hubungan kekeluargaan dan kroni. Buktinya adalah akta perusahaan dan laporan keuangan TOBA dan ADRO yang merupakan emiten bursa.
(3) ET DAN LBP TIDAK AMBIL UNTUNG, PT GSI ADALAH KEWIRAUSAHAAN SOSIAL
Tidak benar. PT dibentuk untuk tujuan laba. Dalam urusan PT, tidak ada istilah "menyumbang". Yang ada itu utang atau penyertaan modal.
Lagipula, tak perlu bicara untung-tidak untung. Yurisprudensi menjelaskan "untung" adalah ketika pendapatan lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya itu.
Parameter "menguntungkan" itu bukan diukur dari ada tidaknya laba atau pendapatan, akan tetapi cukup bila ada suatu manfaat yang dinikmati orang atau badan hukum... ; dengan kata lain ada suatu KEMUNGKINAN KEADAAN yang dapat diketahui pelaku bahwa akibat perbuatannya akan menguntungkan orang lain atau badan...
Penjelasan itu otomatis mematahkan anggapan sebagian orang bahwa kerugian negara harus dibuktikan terlebih dahulu dalam kasus nepotisme.
(4) LBP PALING GETOL MEMINTA PENURUNAN HARGA PCR
Adalah argumen kosong yang tidak membuktikan apa-apa. Untuk menentukan mahal-murah, naik-turun diperlukan acuan yang saya sebut: KEWAJARAN HARGA.
Kewajaran harga itu bukan ditentukan oleh LBP/ET atau BPKP (organ pemerintah) saja tapi harus dilakukan lintas otoritas melibatkan ahli, pelaku usaha, konsumen.
Itu yang tidak dilakukan pemerintah. Pemerintah asal terabas, mau menangnya sendiri menentukan ukuran, tidak partisipatif, yang pada akhirnya membebani konsumen/masyarakat.
(5) BEDAKAN ANTARA SITUASI DARURAT DAHULU DAN SITUASI SEKARANG
Apa itu "darurat"? Apa ukurannya? Otoritas mana yang berwenang memutuskan? Apa maksudnya narasi "kesulitan mencari alat"?
Tidak bisa segala sesuatu termasuk kedaruratan diukur berdasarkan ucapan LBP semata. Jangan segalanya mengatasnamakan darurat lantas bisa terabas apapun.
Saya punya bukti dan informasi. Salah satu alat deteksi PCR yang pertama di Indonesia adalah merek Biorad. Sejak April 2020, merek itu sudah ada dalam top 10 PCR machine di salah satu website seharga US$10.755 (Rp161,3 juta, kurs Rp15.000).
Pada Juni 2020, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah memesan Biorad CFX96 Touch Real Time PCR Detector System seharga Rp914,8 juta alias 5 kali lipat harga pasar. Atas nama darurat?
Pandemi adalah kenyataan, mental korupsi manusialah yang memanfaatkan.
Bisa jadi begitu.
(6) NIAT BAIK MALAH DICURIGAI, MEREKA TIDAK MAKAN DUIT PCR KARENA SUDAH KAYA, YANG BERISIK BELUM TENTU KASIH SUMBANGAN
Argumen remahan yang mengotori lantai mental. Sangat tidak patut diucapkan pejabat terhadap rakyat. Mencerminkan pikiran dan jiwa yang materialistis.
Kebaikan tetaplah kebaikan. Ia mulia dalam dirinya sendiri. Jangan simpangkan makna kebaikan hanya untuk melindungi diri sendiri.
Kita tidak mencurigai setiap orang yang menyumbang di mesjid, jalan raya, di mana saja. Kita mencurigai pejabat negara yang berpotensi menyeleweng dan berdalih sumbangan.
Sumbangan tidak diukur dari jumlah kekayaan. Mereka yang kaya belum tentu tidak korupsi. Siapa yang bisa menjamin.
Belajarlah untuk bercakap dan bertindak tidak selalu dalam kacamata pangkat dan harta!
(7) MEREKA YANG BERISIK AKAN SAYA MINTA AUDIT PAJAKNYA
Silakan gunakan kekuasaan untuk menekan melalui instrumen pajak. Kita tak sedang bicara kepatuhan pajak, kita bicara pemerintahan bersih dan bebas KKN. Kita bicara moral, etik, dan norma dalam hal bisnis PCR.
Tapi mereka yang tulus dan bijak tahu, pahit sekali hidup Anda, karena hanya itulah (harta dan kekuasaan) yang Anda punya.
(8) APA SELANJUTNYA?
Buka PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA NEPOTISME terhadap penyelenggara negara yang terlibat (ET, LBP, dan siapa pun). Biarlah masyarakat menilai kualitas Jokowi dalam hal politik penegakan hukum.
Kita akan melihat pembuktian terhadap perbuatan orang melalui penelusuran alat bukti (saksi, ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa). Bukan menilai ucapan orang yang hanya membenarkan diri dan kelompoknya sendiri. Buat apa nantang masyarakat minta audit PT GSI? Itu akan jadi bagian proses hukum oleh aparat penegak hukum.
Bagi pimpinan KPK, Kejaksaan, Kepolisian, sekarang saatnya bertanding. Siapa lembaga penegak hukum yang akan dicatat oleh sejarah sebagai pembela rakyat dan keadilan sejati.
Jika tidak ada bagaimana?
Ya, kita jadi makin tahu jawaban mengapa bangsa ini selalu merasa kerdil dan dikerdilkan, seperti keprihatinan Presiden yang diberitakan hari ini.
Karena pemimpinnya kerdil dan tak adil!
Salam.
(11/11/2021)