Guru Besar UI Tertuduh Pelecehan Seksual Mahasiswi
-Guru Besar UI Prof. Dr. Burhan Djabir Magenda membantan melakukan kekerasan seksual.
-Ia mengklaim ada mahasiswi yang mengajaknya menikah.
-Burhan Djabir Magenda mengaku kerap menemui mahasiswanya di luar kampus.
DUA alumnus Universitas Indonesia (UI), Depok, mengaku pernah mengalami kekerasan seksual oleh guru besar ilmu politik Prof. Dr. Burhan Djabir Magenda. Burhan juga dituduh melakukan kekerasan seksual kepada mahasiswanya saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar pada 1999-2004.
Kepada Riky Ferdianto dari Tempo melalui pesan WhatsApp pada Jumat, 19 November lalu, Burhan mengaku kerap menemui mahasiswa di luar kampus. Namun laki-laki 75 tahun itu membantah berbagai tuduhan kepadanya.
Sejumlah mantan mahasiswi menuduh Anda melakukan kekerasan seksual. Apa tanggapan Anda?
Sebut namanya. Saya akan jawab satu per satu. Mungkin ada yang naksir saya, lalu kecewa karena tidak saya respons dan sebarkan fitnah. Ada mahasiswi menelepon istri saya, mengaku akan saya nikahi. Padahal tidak pernah begitu. Saya 40 tahun menjadi dosen UI, kenapa baru akhir-akhir ini muncul laporan itu? Kalau memang benar, mereka bisa lapor ke polisi seperti mahasiswi di Universitas Negeri Riau.
Anda bahkan dituduh melecehkan mahasiswi di ruang kerja saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat?
Tidak ada itu. Pintu ruang kerja saya di DPR selalu terbuka. Di sana juga ada sekretaris-sekretaris saya.
Mahasiswi yang hendak mengikuti ujian susulan bercerita bahwa Anda menciumnya seusai bertemu di rumah makan di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, pada 2019.
Tidak ada cium-cium. Itu kan tempat umum. Itu karangan saja. Kalau untuk yang akrab memang ada yang cipika-cipiki, laki-laki dan perempuan. Saya selalu ramai-ramai makan bersama mahasiswa.
Benarkah Anda meraba mahasiswi itu saat menumpang taksi online?
Tidak pernah. Saya selalu membatasi hubungan dengan mahasiswi. Pernah ada yang mengajak kawin, tapi saya tinggalkan. Banyak dosen yang kawin dengan mahasiswinya, tapi saya tidak. Saya akrab dengan mahasiswi tapi tetap saling menghargai, tidak eksploitatif.
Saat masa pandemi Covid-19, kuliah tatap muka ditiadakan. Kenapa Anda meminta mahasiswa mengikuti kuliah tatap muka di luar kampus?
Itu untuk mahasiswa S-2 dan S-3. Tujuannya supaya kami saling kenal dan pembelajaran lebih efektif. Mahasiswanya setuju, saya juga sudah memberi tahu kepala program studi.
Mengapa ditemui di luar kampus?
Yang bertemu saya di luar kampus hanya ketua-ketua kelas untuk membicarakan ujian semester. Pertemuan itu di tempat umum, seperti toko buku atau restoran yang ramai pengunjung, dan hanya untuk konsultasi tesis. Tidak ada kekerasan seksual. Boleh dicek. Kalau sebelum masa kuliah online, pertemuan selalu di kampus, di ruang kerja saya.
Kami mendapat informasi Anda pernah diperiksa kampus karena ada laporan kekerasan seksual. Benarkah?
Belum pernah. Pada semester akhir 2020 memang pernah ada laporan soal pesan WhatsApp saya yang katanya tidak sopan. Tapi pesan WhatsApp bisa dimanipulasi, diubah, lalu dikirim ke orang lain pakai nama saya.
Pelapor itu mahasiswi Anda?
Ada mahasiswi yang pernah melapor, tapi saya tidak kenal dekat. Bagaimana mungkin saya melakukannya? Selanjutnya saya hanya ditanya oleh kepala program studi tentang itu, kemudian oleh dekan. Tidak pernah ada rapat Dewan Etik Dewan Guru Besar. Saya mengajar mata kuliah etika dan filsafat politik sejak 1988, bagaimana mungkin saya melanggar etika? Kalau kondite saya buruk, tak mungkin saya menjadi profesor. Ini konspirasi politik dari pihak lain untuk menyerang saya.
***
Pelecehan Seksual Berdalih Bimbingan Skripsi
-Dua mahasiswi Universitas Indonesia yang berbeda angkatan bercerita pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang guru besar.
-Diduga terjadi selama 30 tahun terakhir.
-Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara berhasil mengungkap kekerasan seksual di kampusnya oleh dosen dan mahasiswa.
KARENA harus menjalani perawatan akibat sakit, Ritika tak bisa mengikuti ujian akhir semester mata kuliah politik Indonesia yang diasuh Burhan Djabier Magenda pada akhir Desember 2019. Mahasiswi program magister Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, itu lalu mengirim pesan pendek kepada Burhan untuk meminta ujian susulan.
Menjawab Ritika, bukan nama asli perempuan 27 tahun ini, Burhan menulis bahwa ia bisa ditemui di kampus UI Depok pukul 3 sore hari itu juga. Namun, satu jam sebelum janji pertemuan itu tiba, Burhan mengirim pesan ia tak bisa ke kampus karena harus mengantar cucunya. Guru besar 75 tahun ini meminta waktu pertemuan diundur ke pukul 5 sore dan tempatnya di Gramedia Matraman, Jakarta Pusat.
Tiba di toko buku itu, Burhan mengarahkan Ritika menemuinya di Restoran Bumbu Desa. Setelah duduk berhadapan, Ritika menanyakan kembali waktu ujian susulan. Burhan, kata Ritika, menjawab soal itu bisa diatur. Obrolan kemudian bukan lagi soal-soal ujian atau mata kuliah.
Mereka menghabiskan tiga jam berbincang-bincang. Burhan sempat meminta pramusaji mengabadikan pertemuan itu melalui foto. Karena sudah terlampau lama, Ritika pamit. Burhan bertanya hendak pulang ke mana. Ritika menjelaskan bahwa ia hendak bertemu dengan seorang teman di Kalibata, Jakarta Selatan. “Tujuan kita searah, pesan taksi online saja,” tutur Ritika, menirukan Burhan.
Melalui aplikasi Grab, Ritika memesan taksi dengan dua tujuan: Kalibata dan Griya Wartawan Cipinang, Jakarta Timur. Baru enam bulan tinggal di Jakarta, gadis Sumatera Barat ini tak paham Cipinang dan Kalibata adalah dua lokasi berjauhan. Ia baru sadar dua lokasi itu tak searah setelah melihat peta di aplikasi. “Karena Profesor meminta, saya tetap pesan untuk dua titik,” ucapnya pada Jumat, 19 November lalu.
Keduanya duduk di kursi belakang. Ketika sudah 10 menit mobil melaju, Burhan tiba-tiba merapat sembari memegang tangannya. Karena risih, Ritika mengibaskan tangan Burhan dengan pura-pura mencari telepon seluler di tasnya. Alih-alih menjauh, Burhan malah memegang paha Ritika. Kendati berusaha ditepis dengan tas, tangan Burhan tetap di sana. “Posisinya di antara dua paha,” ujarnya.
Siku Burhan juga menyenggol payudara kanan Ritika. Ritika pun duduk mepet ke pintu mobil. Burhan terus merangsek. Untung saja apartemen Kalibata, di dekat Taman Makam Pahlawan, sudah dekat. Demi sopan-santun, Ritika pamit dan menyodorkan tangan untuk bersalaman ketika hendak membuka pintu.
Tanpa diduga, Burhan mencium pipi kiri dan kanan Ritika. Belum sempat berpikir karena kaget, Burhan memegang kepalanya. “Dia mencium bibir saya, melumatnya,” kata Ritika. Ritika pun meronta, membuka pintu, dan lari menuju apartemen.
Dengan napas masih tersengal, Ritika menceritakan kejadian itu kepada teman-teman sekelasnya yang berkumpul hari itu di apartemen Kalibata. Mereka menyarankan Ritika melapor ke pihak jurusan. Saat melapor esoknya, Ritika baru mendapat cerita bahwa Burhan terkenal sebagai dosen genit.
Perundungan seksual oleh Burhan juga dialami Gayatri—juga bukan nama sebenarnya. Pada 2004, ia sedang menulis skripsi sebagai syarat menjadi sarjana. Karena topik yang ia angkat seputar Partai Golkar, Burhan menjadi pembimbingnya. “Saya sudah dengar ia dosen genit,” tutur mahasiswa angkatan 1999 ini. “Karena itu, setiap bertemu dia saya tidak berdandan.”
Meski begitu, Burhan acap menggodanya. Tiap kali digoda, Gayatri selalu menjawabnya dengan, “Bapak ngomong apa, sih?” Tapi kejadian berikutnya tak cukup dia halau dengan hardikan. Suatu kali Gayatri meminta waktu bimbingan. Burhan mengarahkannya bertemu di gedung DPR. Waktu itu ia legislator dari Partai Golkar.
Karena cerita masa lalu Burhan itu, Gayatri meminta mahasiswa bimbingan Burhan turut serta. Ketika tiba di DPR, Burhan meminta mahasiswa laki-laki tersebut menghadapnya lebih dulu. Dari ruang tunggu, Gayatri bisa melihat temannya berbicara dengan Burhan karena pintu kamar kerja dibiarkan terbuka.
Saat gilirannya tiba, Burhan menutup pintu ruang kerja tersebut lalu menguncinya. Gayatri bertanya alasan Burhan mengunci pintu. Alih-alih menjawab, Burhan malah merayunya. Gayatri berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik skripsi hingga pembicaraan selesai.
Sewaktu pamit, Burhan menghadangnya di pintu lalu memeluknya. “Dia bilang, ‘saya sayang kamu, saya mau peluk kamu’,” ujar Gayatri. Takut diperkosa, Gayatri meronta dan memohon Burhan melepaskannya. Setelah kunci dilepas dan pintu terbuka, Gayatri menghambur ke luar ruangan mencari teman laki-lakinya.
Sambil gemetar, Gayatri menceritakan yang baru saja menimpanya di ruang kerja Burhan. Temannya menyarankan Gayatri melaporkannya ke pihak jurusan. Dosen dan anggota staf Jurusan Ilmu Politik menyarankan agar Gayatri berganti pembimbing. “Tapi skripsi sudah setengah jalan, jadi saya lanjutkan,” katanya.
Sejak kejadian itu, Gayatri selalu datang berdua bersama mahasiswa lain setiap kali bimbingan skripsi. Sampai akhirnya bahan yang ia kumpulkan lengkap dan siap maju ke sidang. Sepekan sebelum hari ujian tiba pada awal Agustus 2004, Burhan meneleponnya meminta bertemu di kampus UI Salemba, Jakarta Pusat. Takut akan kejadian di DPR, Gayatri menolak.
Burhan tak muncul di ruang ujian. Ketika Gayatri meneleponnya, Burhan mengatakan ia tak datang ke kampus hari itu. “Kamu sih kemarin enggak datang,” tuturnya, seperti ditirukan Gayatri. Tapi, kepada dosen lain, Burhan mengaku sedang sakit flu.
Gayatri mencoba mencari tahu siapa saja korban perundungan seksual Burhan. Ia mendengar asistennya, bahkan seorang guru besar, menjadi korbannya pula. Guru besar ini mengkonfirmasi kelakuan Burhan sudah diketahui sejak 1990-an. “Artinya, dia begitu sudah 30 tahun,” ujar guru besar perempuan ini.
Dimintai konfirmasi soal kejadian-kejadian itu, Burhan mengelak. “Sebutkan siapa namanya?” katanya kepada Riky Ferdianto dari Tempo. Soal perbuatannya di DPR, ia mengatakan tak pernah menutup pintu ruang kerjanya. “Juga tidak ada cium-cium,” ucapnya. “Itu karangan saja. Kalau yang sudah akrab memang ada cipika-cipiki.” (Seperti wawancara lengkap Burhan Magenda di atas).
(Sumber: Majalah TEMPO edisi 22-28 November 2021)