Dipenjara Karena Tulisan Dugaan Korupsi
Koalisi Advokat Pembela Kebebasan Pers dan Berekspresi menyesalkan putusan Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan, yang menyatakan jurnalis portal online berita.news, Muhammad Asrul, terbukti mencemarkan nama pejabat pemerintah daerah Palopo lewat pemberitaannya.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers, Ade Wahyudin, mengatakan putusan hakim tersebut menjadi preseden buruk terhadap kebebasan pers dan menguatkan adanya kriminalisasi pers.
“Apalagi putusan ini terjadi di tengah upaya untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” kata Ade, Selasa (23/11/2021).
Kemarin, majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo memvonis Asrul dengan hukuman 3 bulan penjara karena dinyatakan terbukti mencemarkan nama Farid Judas Karim, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Palopo sekaligus putra Wali Kota Palopo Judas Amir.
Asrul menulis tiga artikel mengenai dugaan korupsi pada tiga proyek di Palopo yang ditengarai melibatkan Farid. Ketiga tulisan tersebut dimuat dalam berita.news pada 10, 24, dan 25 Mei 2019. Arsul lantas dilaporkan ke polisi. Lalu ia ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar Pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 14 Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 27 ayat 3 mengatur tentang pencemaran nama. Pasal 28 ayat 2 mengatur tentang ujaran kebencian. Adapun Pasal 14 mengatur tentang berita bohong.
Ade Wahyudin berpendapat, perkara Asrul terkesan janggal karena produk jurnalistik semestinya tidak bisa dipidana. Namun, pada praktiknya, pengadilan justru kerap memberikan keputusan terhadap karya jurnalistik. Selama ini tindakan kriminalisasi terhadap jurnalis kerap menggunakan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
"Pada karya jurnalistik, seharusnya upaya yang ditempuh melalui sengketa pers di Dewan Pers. Tapi pengadilan terus mengadili dan hal ini sangat paradoks dalam upaya mencari keadilan dari teman-teman jurnalis," kata Ade.
Ade mengurai berbagai dugaan kejanggalan kasus Asrul selama proses persidangan. Misalnya, jaksa penuntut dalam dakwaan menyebutkan bahwa pokok perkara ada pada situs web beritanews.com. Padahal Asrul tidak pernah menulis di beritanews.com, melainkan di berita.news.
"Kalau tempat tindak pidananya saja salah, bagaimana jaksa bisa mempertahankan argumennya bahwa ini suatu tindak pidana," katanya.
Kejanggalan lainnya adalah jaksa penuntut justru mendakwa Asrul menggunakan Pasal 45 ayat 1 UU ITE yang mengatur konten bermuatan asusila, selain Pasal 27 ayat 3. Ade mengatakan penggunaan pasal kesusilaan ini dipertanyakan. Jaksa penuntut beralasan bahwa terjadi kesalahan penulisan dakwaan. "Kami tidak bisa menerima sesederhana itu alasan typo, apalagi sudah masuk tuntutan," ujar Ade.
Di samping itu, jaksa penuntut dan majelis hakim mengabaikan surat Dewan Pers yang menyatakan ketiga laporan yang ditulis Asrul merupakan produk jurnalistik. Dengan demikian, penggunaan UU ITE terhadap Asrul menjadi menakutkan karena sering digunakan untuk menjerat jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Ade, seharusnya hakim membebaskan Asrul karena perkara yang ditangani merupakan produk jurnalistik yang sudah mendapat pernyataan penilaian dan rekomendasi dari Dewan Pers. "Karena persoalan yang diperkarakan adalah produk jurnalistik, jadi pertanggungjawabannya redaksi. Namun dalam konteks ini justru reporternya dipidanakan," katanya.
Senada dengan Ade, peneliti dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar, Abdul Azis Dompu, menilai vonis 3 bulan penjara ini menjadi pukulan terhadap perlindungan kemerdekaan pers dan demokrasi. Apalagi hakim dalam putusannya mengakui bahwa ketiga tulisan Asrul itu merupakan produk jurnalistik dan media tempatnya bekerja telah memenuhi standar perusahaan pers. "Jadi, seharusnya tidak dipidanakan," kata Azis.
Menurut Azis, langkah pemidanaan terhadap jurnalis tidak akan memperbaiki kualitas pers dan demokrasi. Sebaliknya, pemidanaan ini akan membungkam kemerdekaan pers karena membuat jurnalis takut menulis berita. "Hal ini justru membahayakan demokrasi," ujarnya.
Anggota Koalisi Advokat Pembela Kebebasan Pers dan Berekspresi ini kecewa terhadap putusan hakim tersebut. Azis berpandangan bahwa seharusnya pihak yang dirugikan menempuh penyelesaian sengketa media di Dewan Pers. "Selama ini tidak ada proses di Dewan Pers," ucap Azis.
Ia menilai majelis hakim justru menjatuhkan hukuman kepada Asrul berdasarkan pertimbangan ahli dari Dewan Pers, yang menyatakan Asrul tidak memberikan ruang hak jawab kepada Farid. Ahli tersebut lantas menganggap Asrul melanggar kode etik. Padahal seharusnya perkara ini ditentukan lewat proses sidang sengketa di Dewan Pers, bukan pendapat ahli.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mengatakan SAFEnet mengindentifikasi bahwa kasus yang menimpa Asrul merupakan kriminalisasi terhadap jurnalis. Hal itu terlihat dari konstruksi yang dibangun dalam perkara itu sejak awal, yakni menjerat Asrul menggunakan pasal ujaran kebencian dalam UU ITE, yang ancamannya di atas 5 tahun penjara.
"Dari sini saja sudah terlihat keliru dalam proses pemidanaannya. Kenapa saya katakan keliru? Karena, kalau dikatakan ujar kebencian, pertama-tama harus dibuktikan dulu apa unsur ujaran kebenciannya," kata Damar.
Ia menjelaskan, konstruksi pasal ujaran kebencian harus berdasarkan adanya indikasi diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan. Sedangkan perkara Asrul ini terkait dengan produk jurnalistik, yang memberitakan kasus dugaan korupsi yang ditengarai melibatkan pejabat daerah.
"Kalau ternyata mengangkat soal dugaan korupsi, tidak bisa dinyatakan bahwa ada golongan tertentu yang dirugikan. Ini sebuah penanda bahwa konstruksi kasus ini adalah kriminalisasi," katanya.
Menurut Damar, semestinya polisi dalam menangani kasus ini mengedepankan nota kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers. Nota tersebut berisi tentang mekanisme penyelesaian kasus serupa yang harus melalui sengketa pers lebih dulu.
Ia juga menyoal penggunaan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 ITE serta Pasal 14 Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana. Sebab, dalam persidangan, dua pasal di antaranya terbantahkan, yaitu Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 14. Asrul hanya dinyatakan terbukti melanggar pasal pencemaran nama yang ancamannya di bawah 5 tahun penjara. Jika dari awal menggunakan pasal pencemaran nama ini, Asrul seharusnya tidak ditahan.
"Melihat kasus ini semakin terang bahwa tujuan utama kriminalisasi pers ini adalah dihukum badan di balik penjara," ujar Damar.
Jaksa penuntut belum berhasil dimintai konfirmasi soal ini. Saat di pengadilan kemarin, jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Palopo, Erlysa, mengatakan masih mempertimbangkan banding atas putusan tersebut. “Kami masih pikir-pikir,” kata Erlysa, yang dikutip dari beberapa media lokal di Sulawesi Selatan.
(Sumber: Koran Tempo, 24/11/2021)