BELUM juga resmi menjadi Panglima TNI, Jenderal TNI Andika Perkasa sudah disebut-sebut sebagai calon Presiden yang akan dipasangkan dengan Puan Maharani (Ketua DPR-RI) di Pilpres 2024 nanti.
“Mak Banteng dan Ki Lurah sudah deal Andika-Puan di 2024!” begitu informasi yang saya peroleh dari bagian “pintu belakang”, Sabtu malam (6/11/2021).
Yang dimaksud Mak Banteng adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sedangkan Ki Lurah adalah Presiden Jokowi. Informasi ini valid tapi bisa juga berubah sesuai perkembangan dan dinamika politik. Politik kan dinamis.
Sebelumnya Puan dipasangkan dengan Prabowo, sekarang tiba-tiba tersiar kabar hendak digandengkan dengan Andika. Yang jelas, kalau melihat ketegangan politik di internal PDIP sekarang, tidak mungkin menggandengkan Puan dengan politisi PDIP lainnya Ganjar Pranowo.
Di dalam partai yang sama, keduanya kini sedang berebut pengaruh. Kelompok banteng dan kelompok celeng di Partai Moncong Putih, satu sama lain saling beradu kekuatan politik.
Berdasarkan hasil survei, elektibilitas Ganjar memang jauh di atas Ketua DPR-RI, Puan Maharani. Tapi Gubernur Jateng itu bukan anak keturunan Soekarno. Sebaliknya, Puan Maharani lahir dari rahim pemilik PDIP yang juga partai dinasti ini.
Informasi tentang Andika capres 2024 seolah ada irisannya dengan tulisan wartawan senior yang juga mantan Menteri BUMN era Presiden SBY, Dahlan Iskan.
Menjelang fit and proper test Jenderal TNI Andika Perkasa di Komisi I DPR, Dahlan menulis tentang peluang Andika menjadi calon presiden seusai dia pensiun dari lingkungan TNI pada Desember 2022. Sebagai wartawan senior, sangat boleh jadi Dahlan Iskan mengetahui skenario politik tersebut dari jaringan politik serta networknya dengan para pengusaha. Di akhir tulisannya Dahlan menulis, “Saya melihat Jenderal Andika akan menjadi bintang baru dalam peta calon presiden akan datang”. Dalam narasi selanjutnya, seperti biasa Dahlan Iskan menulis puja-puji terhadap Andika Perkasa.
Jokowi terpaksa kompromi
Dalam peta politik sekarang, yang bisa mencalonkan pasangan presiden – wakil presiden hanya parpol atau koalisi parpol hasil pemilu 2019 yang mendapat kursi 20 persen di DPR atau 25 persen suara pemilih nasional. Yang memenuhi syarat itu hanya PDIP. Sedangkan partai-partai lain harus koalisi. Karena itu PDIP bisa bebas menentukan capres sendiri termasuk kemungkinan mengusung pasangan Andika Perkasa-Puan Maharani.
Atas pertimbangan itu pula, bisa jadi Jokowi terpaksa harus kompromi dengan Megawati dan juga Hendropriyono dalam proses pencalonan Panglima TNI. Presiden Jokowi terpaksa membatalkan memilih Laksamana TNI Yudo Margono yang seharusnya mendapat giliran menjadi Panglima TNI sekarang. Jalan tengahnya, bisa jadi Yudo Margono akan dicalonkan Jokowi menjadi Panglima TNI tahun depan setelah Andika Perkasa memasuki usia pensiun bulan Desember tahun 2022. Sehingga pada saat Jenderal Andika pensiun kelak, masa dinas aktif Laksamana Yudo Margono juga tinggal satu tahun.
Sebagian kalangan menilai, di sisa usianya Megawati merasa tidak sabar ingin menyaksikan anaknya Puan menjadi pemimpin negeri ini. Karena itu muncul skenario politik PDIP untuk menggandengkan Andika Perkasa dengan Puan pada Pilpres 2024. Loh bukankah sebelumnya Puan akan dipasangkan dengan Prabowo Subianto? Apalagi dari hasil survei berbagai lembaga, Ketua Umum Partai Gerindra ini elektibilitasnya tertinggi dibandingkan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Kemungkinan ada kompromi baru dimana Partai Gerindra mau “mengalah” di ajang Pilpres namun partai pemenang kedua Pemilu 2019 ini, akan kembali maju habis-habisan di Pilkada DKI Jakarta dengan mengusung Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sandiaga Uno sebagai Calon Gubernur DKI pada tahun 2024. Atau bisa jadi Partai Gerindra mengusung “calon kalah” dalam Pilpres 2024 nanti.
Meskipun elektabilitasnya tinggi, bisa jadi Prabowo sekarang sudah mulai insyaf dan tahu diri bahwa dia kini sudah berusia tua (70 tahun). Selain itu publik sebenarnya juga sudah bosan dan jengah melihat wajah dan penampilan Prabowo yang selalu nongol dalam setiap ajang kontestasi Pilpres. Sialnya, setiap kali nyapres dia juga selalu gagal. Bayangkan, di tiga kali pelaksanaan Pilpres 2009, 2014, dan 2019, Prabowo Subianto selalu ikut nyapres dan hasilnya amsyiong. Kok elektabilitasnya bisa tinggi? “Ya itu kan hasil penelitian lembaga survey. Semua orang juga tahu, lembaga survey bisa dipesan sesuai keinginan pembeli,” kata seorang politisi senior.
Kalau tahun 2024 Prabowo memaksakan diri ikut kontestasi Pilpres, diperkirakan akan semakin ambyar. Apalagi kelompok Islam yang semula banyak memberikan dukungan di Pilpres 2019, merasa kecewa dengan pilihan politik Prabowo bergabung dalam Kabinet Presiden Jokowi. Dalam logika politik awam, sulit dipahami dua orang capres yang semula sengit bertarung dalam ajang Pilpres tiba-tiba di akhir pertarungan saling berangkulan dan berdamai. Dalam arena tinju mungkin itu bisa terjadi, tapi kalau dalam ranah politik fungsi parpol adalah mendukung atau menjadi oposisi pemerintah. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kalau akhirnya Prabowo bergabung dengan Jokowi, lalu untuk apa harus ada Pilpres yang telah mengeluarkan banyak dana, tenaga bahkan menelan korban nyawa para relawan dan pendukung capres.
Kembali ke persoalan Andika
Saat menjalani fit and proper test di Komisi I DPR pada Sabtu 6 November 2021, usia Andika Perkasa memang tinggal setahun lagi menuju pensiun dari dunia militer. Beliau lahir 21 Desember 2021. Seluruh anggota Komisi I DPR telah menyetujui Andika Perkasa sebagai Panglima TNI menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Sidang Paripurna DPR pada Senin 8 November 2021, hanya sekadar ketok palu saja. Namun yang jelas, saat sidang paripurna itu bertepatan dengan habisnya masa dinas Hadi Tjahjanto di dunia militer. Dia adalah petinggi TNI kelahiran 8 November 1963. Kendati momen pergantian Panglima ini dilakukan di injury time namun semuanya seolah sudah diatur rapi.
Pasca reformasi, Panglima TNI memang dilakukan secara bergiliran diantara ketiga angkatan yaitu AL, AD dan AU. Namun tradisi tersebut tidak terlalu diformalkan. Sehingga penentuan Panglima TNI sepenuhnya tetap berada dibawah Presiden setelah diajukan dan mendapat persetujuan DPR.
Meski demikian, jabatan Panglima TNI kali ini juga tidak terlepas dari loby-loby politik terutama antara Megawati dengan Jokowi. Bisa jadi dalam loby tersebut juga melibatkan Menhan Jend TNI (Purn) Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra. Dan sangat mungkin juga Jenderal TNI (Purn) TNI Hendropriyono mertua Andika Perkasa, ikut cawe-cawe dalam loby-loby politik itu. Nah, di sinilah salah satu kekurangan Andika. Dia selalu dikaitkan dengan sosok mertuanya. Andika Perkasa menikahi Diah Erwiany (Hetty) anak tertua Hendropriyono. Jika ingin tampil sebagai pemimpin yang utuh, Andika Perkasa seharusnya bisa keluar dari bayang-bayang mertuanya.
Menurut Selamat Ginting, pengamat militer yang juga mantan Wartawan Senior Republika, Andika Perkasa merupakan salah satu prajurit TNI yang pintar. Bukan hanya cemerlang karir militernya, Andika juga pintar secara akademis. Dia mampu meraih banyak gelar akademis yakni pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di dalam negeri dan meraih tiga gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil) serta satu gelar akademik Strata-3 (Ph.D/doktor) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat. Andika adalah lulusan terbaik Pendidikan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) 1999-2000.
Pihak yang menolak Andika
Karier militer Andika sebelumnya pernah menjadi Kadispen Angkatan Darat, Komandan Paspampres, Pangdam Tanjungpura, Komandan Kodiklat AD, Pangkostrad dan sejak tahun 2018 diangkat jadi KSAD. Sampai akhirnya dia mencapai puncak kariernya di dunia militer sebagai Panglima TNI pada November 2021. Meski banyak yang mendukung Andika Perkasa tetapi ada pula yang menolak dia sebagai Panglima TNI.
Di antara para pihak yang menolak pencalonan Andika Perkasa sebagai Panglima TNI adalah koalisi 14 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Meski ada penolakan namun proses politik serta dukungan dari anggota DPR kepada Andika Perkasa terus mengalir.
Meski hanya akan menjabat selama 1 tahun dan 1 bulan, posisi baru Jenderal Andika ini tetap sangat penting. Terutama kalau dikaitkan dengan tangga karir sipil berikutnya. Megawati Soekarnoputri merasa percaya diri memasangkan Andika dengan Puan karena PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengajukan capres dan cawapres sendiri sesuai ketentuan ambang batas pemilihan Presiden atau Presidential Treshold 20 %.
Berdasarkan UU No 7 tahun 2017 tentang pemilu disebutkan bahwa tahapan Pilpres oleh KPU akan dimulai bulan Juli tahun 2022 atau 20 bulan sebelum pencoblosan pada bulan Maret tahun 2024. Sementara ambang batas Pemilihan Presiden atau Presidential Threshold untuk dapat mencalonkan capres dan cawapres adalah 20% kursi DPR RI, atau setidaknya 115 kursi DPR RI.
Saat ini PDIP sudah memenuhi persyaratan pencalonan presiden. PDIP saat ini memiliki 128 kursi di DPR RI sementara ambang batas minimal untuk mencalonkan capres adalah 115 kursi DPR. Selanjutnya capres dan cawapres dari PDIP akan ditentukan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dengan catatan, sebelum Pilpres 2024 Megawati masih diberi keeempatan hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Harus diakui bahwa sistem Pemilu seperti sekarang bisa menghambat munculnya para calon pemimpin berkualitas yang tidak memiliki partai seperti Anies Baswedan, mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, tokoh pergerakan yang juga mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli. Oleh karena itu perjuangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar ambang batas Pemilihan Presiden untuk capres dan cawapres bisa diturunkan dari 20 % menjadi 0 %, patut didukung agar para calon pemimpin bangsa yang bermutu bisa tampil dan berkompetisi merebut hati rakyat dalam Pilpres. Bahkan meskipun perjuangan tersebut belum terwujud, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti sudah mendeklarasikan diri sebagai Capres 2024.
Adanya ketentuan ambang batas presidential threshold 20 persen suara nasional dan 25 persen kursi parlemen sungguh sangat merugikan anak muda, figur-figur nonpartai, serta figur calon pemimpin di daerah yang tidak terafiliasi dengan partai.
Dalam sistem politik yang berlaku sekarang, untuk bisa tampil dalam ajang kontestasi dan seleksi calon pemimpin harus mendapatkan tiket dari partai politik. Dalam realitasnya, tiket dari parpol ini telah menyuburkan praktek politik uang dan korupsi dimana-mana. Kalau kondisinya terus seperti ini, kapan Indonesia akan maju?
Oleh: Tjahja Gunawan
(Wartawan Senior FNN)
*Sumber: FNN