Tidak Terjadi Secara Kebetulan
Oleh: Ady Amar
MANA ada pernyataan nekat pada beberapa tahun lalu, bisa muncul dari mulut seseorang, dan itu pelecehan agama (Islam). Tapi hari-hari ini menista/melecehkan simbol-simbol dan syariat Islam itu seolah bertumbuh berlomba susul menyusul, diproduksi setiap saat. Dan bebas-bebas saja. Aman dari jeratan hukum.
Belajar dari kasus Ahok, yang kepeleset Surat Al-Maidah, ayat 51, dan itu penistaan agama. Umat marah dan lalu bergerak memprotes dengan keras. Ahok lalu dibantarkan di hotel prodeo. Belajar dari kasus itu, maka aktor penista dibuat tidak non-muslim, tapi dari kalangan umat Islam sendiri. Meski penistaan/pelecehan disampaikan berkali lipat lebih jahat daripada apa yang disampaikan Ahok dulu, umat sepertinya tidak terlalu merespons berlebihan. Ada sih protes dengan pelurusan di media sosial khususnya, tapi tetap saja penyerangan terhadap Islam terus dimunculkan.
Ade Armando jadi seseorang yang tampak menikmati peran sebagai aktor antagonis, melecehkan agamanya. Beberapa saat lalu, ia mempertanyakan hal yang sudah baku dalam peribadatan. Tampak miskin pengetahuan agamanya, meski ia mengaku Islam. Tiba-tiba menyatakan dengan bangga pula, bahwa saya beragama Islam tapi tidak percaya syariat Islam. Dalam hitungan hari kemudian, ia muncul lagi dengan pernyataan, bahwa perintah shalat 5 waktu itu tidak disebutkan dalam al-Qur’an.
Meski lalu beberapa ulama, terutama dari kalangan MUI, memberi penjelasan tentang statemennya dengan rinci. Tapi tetap saja tidak berpengaruh buatnya. Tujuannya memang untuk melecehkan, bukan mencari kebenaran. Ditambah dengan munculnya para buzzerRp di media sosial, bersekutu mengolok syariat Islam dengan sadisnya. Ini semacam skenario yang memang dibuat, setelah apa saja yang berbau Arab diperolok dengan kadrun, lalu meningkat nekat mengolok Islam.
Memakai jasa mereka yang ber-KTP Islam dengan menista syariat Islam, menjadi bebas telanjang. Intensitas penistaannya pun makin hari dibuat makin menjadi. Makhluk penista itu orangnya ya itu-itu juga. Menjadi seperti besar karena mendapat tunggangan para buzzerRp dan jaringan media sosial, yang meski media itu memakai nama Islam, tapi asyik saja memuat komen para penista itu. Tentu demi konten.
Negara memang menjadi tidak hadir saat agama mayoritas ini diperlakukan tidak semestinya, amat terlihat sempurna. Maka jika ada yang mengatakan, bahwa mereka dihadirkan memang untuk diperhadapkan dengan umat Islam mayoritas, itu pun tidak dapat dipungkiri. Menyulut agar umat marah, saat agama dilecehkan. Umat ingin disibukkan dengan hal-hal tidak produktif. Berharap abai pada agenda sistemik yang dirancang segelintir manusia busuk tapi berkuasa (oligarki), yang berhasrat menguasai negeri dengan tidak semestinya.
Bersyukur umat Islam mampu melihat itu semua. Mampu melihat bahwa munculnya fenomena pelecehan/penistaan terhadap Islam, itu memang skenario yang dimainkan, maka meresponsnya pun umat dengan tidak berlebihan. Cakep.
Seperti dimunculkan pula Kyai Syakur, yang diundang ceramah di Mabes Polri. Dari lisannya muncul pernyataan-pernyataan maha busuk, yang mencoba menyerang Islam dengan kehinaan dan kedustaan luar biasa. Banyak yang terheran, kok Mabes Polri mengundang ulama sesat, yang orang menyebut sebagai “embahnya” liberal. Mengundang kyai Syakur pastilah penuh perhitungan. Maka tidaklah perlu bingung, biasa saja.
Islam yang Diperhadap-hadapkan
Islam diperhadap-hadapkan seolah musuh. Setidaknya geraknya ingin dibatasi. Maka semua aspek yang bisa mencipta kekuatan coba dilemah-lumpuhkan. Fenomena yang muncul menampakkan itu semua. Maka, jika satu kelompok muslim, tanpa basis sejarah yang jelas mengklaim sesuatu yang besar adalah milik kelompoknya, seraya membesarkan kelompoknya dengan tidak malu-malu, itu pun bisa ditengarai Islam sedang coba diperhadap-hadapkan.
Semua tidak terjadi secara kebetulan. Semua dihadirkan dengan perencanaan. Semua digarap dengan terukur. Dimunculkan kelompok Islam dengan penuh fasilitas memanjakan. Ada pula kelompok yang kurang dapat perhatian. Tapi ada pula kelompok yang dimatikan, bahkan pemimpinnya dipenjarakan dengan tanpa kesalahan berarti.
Suasana demikian akan terus dipertahankan, dianggap efektif meredam kekuatan Islam agar tidak jadi ancaman. Kelak kerap akan dimunculkan wacana yang punya potensi benturan antarkelompok. Sampai kapan suasana keberagamaan menjengkelkan ini berakhir, tentu berharap agar tangan Tuhan berandil mengembalikan kesadaran umat, bahwa agama (Islam) itu keyakinan yang mustahil bisa dikalahkan kekuatan apa pun.
Untuk menutup opini ini, ada ungkapan menarik dari Allah yarham Kuntowijoyo, pantas disajikan di sini:
“Agama tak bisa diatur oleh kekuatan politik, agama tumbuh tidak dengan logika kekuasaan, tapi dengan logika kepercayaan. Daya tarik agama berbeda dengan daya tarik politik, sehingga penindasan terhadap agama justru sering menyuburkan agama itu.
Agama mempunyai vitalitas (daya hidup) yang berbeda dari politik. Kalau tidak di permukaan, agama akan ‘bergerilya’ di bawah.
Agama itu seperti air, tidak bisa dibendung. Jika dibendung akan selalu mencari jalan untuk mengalir.” (Identitas Politik Umat Islam 1997, h. 198).
Wallahu a’lam.
(FNN)