9 Triliun Modal Nyapres, Indonesia akan Selalu di Tangan Oligarki?
Oleh: Naniek S Deyang (Wartawan senior, aktivis sosial)
Sebetulnya sudah lama saya mau nulis soal demokrasi yang sejatinya sudah "mati" di negeri ini. Benarkah? Pengalaman menjadi ikut Timses dari mulai Timses Bupati/Walikota, Gubernur hingga Presiden, sebetulnya membuat hati ini sudah tidak tertarik dengan apa yang disebut dengan agenda pesta demokrasi.
Omong kosong sebetulnya dengan demokrasi di negeri ini. Demokrasi di negeri ini milik konglomerat, bukan milik rakyat. Demokrasi di negeri ini sudah dibajak kepentingan mereka yang terus ingin mengais cuan besar di negeri ini.
Jadi waktu mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo menyebut bahwa biaya Nyapres itu sekitar 7-9 Triliun. Saya sih sangat percaya!
Pertanyaannya siapa di negeri ini yg punya duit 7 -9 Triliun? Prabowo, Anies, Ganjar, Puan dll? Gak ada yang punya! Tiga kali Prabowo kalah karena gak punya duit sebesar itu dan gak didukung konglomerat yang punya duit sebesar itu, padahal Prabowo didukung rakyat, bahkan di tahun 2019 boleh dikatakan banjir dukungan!
Jadi sampai kapan pun Indonesia hanya akan bisa melahirkan pemimpin yang dimiliki atau dibiayai oligarki! Kok bisa? Karena semua lini dari partai hingga rakyat, dan sistem semua bisa dibeli (diatur).
Ketentuan 20 persen Presidential Threshold bisa jadi menjadi cikal bakal matinya demokrasi di Indonesia. Karena ketentuan 20 persen ini hanya satu Partai yang punya peroleh suara 20 persen ke atas yang bisa mencalonkan. Padahal selama ini hanya 1 partai yang bisa mencapai 20 persen.
Artinya apa? Untuk mencapai ketentuan 20 persen saja, harus merangkul partai lain dan untuk merangkul ini tidak "cuma-cuma" ya, harus bayar yang disebut dengan "MAHAR".
Setelah 20 persen apakah sudah cukup? Iya cukup untuk mendaftar ke KPU saja. Tapi untuk memenagkan harus merangkul banyak partai. Kembali dana mahar harus dikeluarkan.
Berapa mahar itu? Bervariasi di partai kelas menengah ke atas paling murah 1 Triliun, kelas menengah 400-500 miliar, pokoknya nanti dihitung per jumlah kursi. Meski ada 1-2 partai yang maharnya dijanjikan T+ atau kalau sudah jadi plus dijanjikan berapa kursi menteri.
Teman-teman bisa bayangkan dari mana jago-jago atau capres untuk bisa membayar mahar partai kalau gak cari pemodal? Di sini maka Indonesia akan selamanya dikungkung oleh konglomerat atau oligarki kalau ketentuan Presidential Threshold tidak 0 persen. Dengan ketentuan 0 persen, siapapun bisa maju tanpa harus tergantung dukungan partai!
Namun setelah Presidential Threshold 0 persen, demokrasi bisa jalan? Belum tentu juga, karena nanti bisa dimainkan pada sistem, dimana penyelenggara Pemilu/Pilpres bisa mengubah angka 1+1 = 11, bukan 2.
Jadi bagaimana untuk mengamankan suara? Harus punya banyak saksi. Nah agar punya saksi bagaimana? Ya harus punya duit utk membayar saksi (uang lelah) dan juga operasional para saksi, agar para saksi ini bisa terus menerus menjaga kotak suara dari tingkat kampung, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga KPU pusat.
Panjangnya jalur kotak suara untuk sampai pusat ini membuat surat suara, terutama yang paling rawan pada saat kotak suara sampai kecamatan, bisa diubah atau diganti.
Lalu bagaimana agar uang untuk saksi bisa dikecilkan dan surat-surat suara tidak diubah? Maka seharusnya Pemilu, Pilpres, Pilgub, dan Pilbup/Pilwal, semua harus memakai sistem elektronik seperti di negara-negara maju. Bisakah? Kalau niat mah bisa aja, orang sekarang anak-anak muda Indonesia itu jago-jago IT semua. Lalu bagaimana untuk wilayah yang secara jaringan internet tdk ada? Nah di tempat yg demikian baru dilakukan pemilihan dengan pencoblosan langsung.
Jadi mengapa ongkos Nyapres minimal 9 Trilyun? Karena pos terbesar itu utk bayar mahar partai baik partai yang akan jadi pelengkap persyaratan 20 persen presidential threshold, maupun partai pendukung utk memiliki banyak mesin dari partai. Kemudian pos kedua yg besar adalah utk membayar saksi.
Pos ketiga yg juga perlu dana besar itu utk sosialisasi seperti membayar pengamat utk menggiring opini, membayar lembaga survei, iklan (terutama iklan TV), konsultan politik, buzzer, nyetak kaos, berbagai atribut (baliho, bendera dll), dan biaya posko-posko.
Di pos keempat yg juga perlu dana besar adalah utk membeli suara rakyat. Di pedesaan harga satu suara itu sekitat Rp 30-100 ribu per kepala. Biasanya sang bandar akan menghitung suara dimana yg bisa dan mudah serta murah utk dibeli.
Nah kembali saya tanya siapa Capres yg punya 9 T? Satu pun nggak ada! Yg punya duit trilyunan itu ya konglomerat atau oligarki. Bayangkan kalau satu konglomerat bisa bayar pajak 50 Triliun ke negara, apa artinya dia biayai capres yg hanya sekitar 9 Triliun? Keciilllll itu...
Saya akan kasih contoh dimana saya tau dan melihat dengan mata kepala sendiri. Ada seorang Cagub dibiayai konglomerat sekitar 700 miliar (buat bayar mahar partai pendukung dll) dan akhirnya jadi Gubernur. Apa yg didapat oleh sang Konglo? Dia terus bisa menambang cuan di wilayah sang Gubernur dan keuntungan tiap tahun lebih dari 1 T, jadi apa artinya dia buang 700 miliar kalau selama 5 tahun (sang Gubernur dalam genggaman) sehingga bisa menghasilkan cuan 5 Triliun?
Jadi teman-teman mau bicara demokrasi? Mimpi aja kali deh! Nah bagaiamana melawan oligarki? Bersatulah umat dan rakyat, sekali lagi bersatulah, dengan alasan apapun jangan mau dipecah!!
(fb penulis, 21/11/2021)