Wahid Hasyim versus Yaqut Cholil Qoumas
Oleh: Nuim Hidayat (Dosen Akademi Dakwah Indonesia)
Bila Yaqut Cholil Qoumas, banyak membuat masalah, beda dengan Wahid Hasyim. Menteri Agama tahun 1949-1952, ini banyak menolehkan prestasi. Saat menduduki jabatan itu, ia banyak melakukan hal yang penting dan strategis. Diantaranya ia mengeluarkan Peraturan Pemerintah 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum.
Wahid juga mendirikan pendidikan guru agama di berbagai daerah antara lain: Jakarta, Bandung, Salatiga, Pamekasan, Tanjung Karang, Padang, Aceh, Tanjung Pinang dan Banjarmasin. Ia juga memelopori pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Penyelenggaraan PTAIN ini selanjutnya diatur dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan tertanggal 21 Oktober 1951 yang diteken Wahid Hasyim dan Mr Wongsonegoro. (Lihat buku: Nugroho Dewanto dan Redaksi KPG, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, KPG, 2016).
Sebelumnya, pada 1943, saat menjadi Wakil Ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Wahid merintis pembentukan Barisan Hizbullah, yang membasintu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.
Peranan Wahid Hasyim juga cukup monumental ketika ia memperjuangkan kata Islam agar masuk menjadi konstitusi negara. Hal itu dimulai ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 11 Juli 1945 mengadakan rapat pleno membahas isi Piagam Jakarta yang telah disahkan oleh Tim Sembilan pada 22 Juni 1945.
Tim Sembilan beranggotakan Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin, dan Wahid Hasyim. Berusia 31 tahum, saat itu Wahid adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama.
Jadi pangkal utama perdebatan itu pada tujuh kata rancangan pembukaan UUD 1945: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Anggota BPUPKI seperti Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hoesein Djajadiningrat mengungkapkan keberatannya. Mereka khawatir klausul itu menimbulkan dampak bagi pemeluk agama lain, bergesekan dengan hukum adat atau memaksa pelaksanaan ajaran Islam untuk pemeluknya.
Menanggapi keberatan itu Wahid Hasyim yang duduk di kursi nomor 50 dengan lantang mengatakan,”Ada yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.”
Untuk menenangkan rapat Presiden Soekarno mengingatkan kembali bahwa tujuh kata itu merupakan kompromi dua kelompok: muslim nasionalis dan sekuler nasionalis. “Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” katanya. Profesor Soepomo, anggota BPUPKI mengomentari perdebatan itu sebagai, “polarisasi yang terbentuk sejak awal Badan Penyelidik bersidang: Indonesia sebagai negara Islam atau bukan.”
Sidang akhirnya menerima naskah itu, yang rencananya dijadikan Pembukaan UUD 1945. Dua hari kemudian BPUPKI kembali bersidang. Kali ini membahas isi konstitusi.
Wahid Hasyim kembali mengangkat tangan, mengajukan dua poin untuk mempertegas kedudukan Islam dalam negara melalui pasal soal presiden dan agama resmi negara. Menurut dia, pasal 4 ayat 2 yang mengatur presiden seharusnya berbunyi,”Yang dapat menjadi presiden dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam.” Ia beragumen, hubungan masyarakat dan pemerintah penting sekali bagi masyarakat muslim. “Jika presiden orang Islam, perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya.”
Wahid melangkah lebih jauh. Ia mengusulkan pasal 28 mengenai agama berisi ketentuan yang secara jelas mengatur Islam sebagai agama negara. “Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain…” Menurut Wahid ini penting bagi pembelaan negara saat diperlukan.
“Pada umumnya, pembelaan yang berdasarkan kepercayaan sangat hebat. Menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.” Pandangannya ini disokong Soekiman Wirjosandjojo, anggota pantia kecil yang membahas konstitusi. “Itu akan memuaskan rakyat,” kata politikus dari Partai Masjumi itu.
Setelah perdebatan panjang, poin-poin dari Wahid Hasyim ini diterima sebagai keputusan rapat oleh pimpinan rapat yang diketuai Presiden Soekarno. Tapi keputusan yang telah dirunding berhari-hari itu, akhirnya mentah semua pada tanggal 18 Agustus 1945. Sehari setelah kemerdekaan, Soekarno dan Hatta memimpin rapat yang menghapus semua kata Islam, di konstitusi. Dan Wahid Hasyim yang gigih memperjuangkan pasal-pasal itu tidak diikutsertakan dalam rapat. (Lihat LINK)
***
Banyak kontroversi yang dibuat Yaqut. Pertama, Oktober 2018 Yaqut yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum GP Ansor dilaporkan ke polisi karena ‘mendukung’ pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid yang dilakukan anak buahnya di Garut. Yaqut beralasan bendera yang dibakar itu adalah bendera HTI, organisasi yang dilarang pemerintah.
Seperti diketahui Yaqut adalah sosok yang sering memusuhi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam). Dua organisasi yang akhirnya dilarang oleh pemerintah Jokowi.
Setelah menjadi Menteri Agama (Desember 2020), Yaqut juga banyak membuat kontroversi. Pertama adalah ketika ia ‘mendukung’ keberadaan Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia. Padahal di tanah air mayoritas masyarakat Islam menganut faham ahlus sunnah wal jamaah.
Yaqut juga pernah melontarkan pernyataan bahwa untuk acara Kemenag, semua agama yang diakui di Indonesia diberikan kesempatan yang sama untuk memberikan doa. Yaqut mengatakan,"Pagi hari ini saya senang Rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua. Tapi akan lebih indah lagi jika doanya semua agama diberikan kesempatan untuk memulai doa," ujarnya.
Selain itu, Yaqut juga juga pernah menyampaikan ucapan selamat hari raya Nawruz ke komunitas Baha'i. Padahal agama Baha’i tidak diakui di Indonesia.
Menteri Agama ini juga melakukan pujian berlebihan kepada artis Cinta Laura yang memberikan pidato pada acara Aksi Moderasi Beragama, akhir September 2021 lalu. "(Cinta Laura) memberikan speech yang luar biasa dan menginspirasi, tidak banyak anak muda yang bisa memberikan dan mampu memberikan pidato dengan makna sedalam itu, ujar Yaqut. Ia juga menyatakan hampir nangis karena pidato Laura yang berkesan itu.
Masyarakat banyak mengeluh dengan dihadirkannya Cinta Laura di acara itu. Karena artis ini sering berpakaian minim bila menyanyi. Selain itu, pidatonya juga membahayakan generasi muda. Karena ia mengagungkan faham relativisme. Faham yang menyatakan kebenaran tidak dapat dijangkau manusia, karena yang memahami kebenaran hanya Tuhan. Faham ini bertentangan keras dengan Islam. Karena umat Islam dapat memahami langsung kebenaran lewat al Quran, Hadits atau ijtihad ulama yang shalih.
Yang terakhir, adalah pernyataan Yaqut bahwa kementerian agama adalah hadiah negara untuk NU. Setelah mendapat pertentangan keras dari tokoh-tokoh Islam di tanah air, Yaqut membela diri. Ia katakan bahwa pernyataannya itu berlangsung di kalangan internal NU dan tujuannya untuk memberi semangat para santri dan pondok pesantren. Hal inipun banyak diprotes masyarakat, karena acaranya itu beredar luas di youtube, dan harusnya Yaqut minta maaf bukan malah membela diri dari kesalahan yang dibuatnya.
Bila dicemati, kontroversi yang dibuat Yaqut ini berpangkal pada faham ‘pluralisme agama yang dipeluknya’. Selama Yaqut memeluk faham ini, maka ia tidak akan serius memperjuangkan aspirasi umat Islam Indonesia. Apalagi ia telah menyatakan terus terang bahwa agama harus dijadikan sebagai inspirasi dalam pembangunan bangsa, bukan sebagai aspirasi. Harusnya sebagai Muslim, Menteri Agama menjadikan Islam sebagai aspirasi dan inspirasi, bukan inspirasi semata. Memang kementerian agama menaungi enam agama di Indonesia, tapi bukankah Islam agama mayoritas penduduk Indonesia?
Wallahu alimun hakim.