Saya lagi sedih.
Membaca berita tentang Stella Monica Hendrawan. Dia ini pernah posting curhat tentang sebuah klinik kecantikan di Surabaya. Kliniknya tidak terima, dia diseret ke pengadilan. Klinik menunjuk pengacara yang gagah berani beraksi. Stella terancam hukuman 1 tahun. Proses pengadilan masih berjalan.
Saya lagi sedih. Tapi sekaligus juga mikir.
Kayaknya seru kali ya, jika saya nyewa pengacara juga, saya seret semua orang-orang yang pernah posting membahas tentang Tere Liye di medsos.
Yang jelek-jelekin buku Tere Liye, tuntut.
Yang bilang Tere Liye tulisannya jelek, tuntut.
Yang bilang Tere Liye nyinyir, julid, apalagi yg ini, tuntut.
Yang bilang Tere Liye penulis tidak laku, tuntut.
Wah, jika semua dituntut, minta ganti rugi masing-masing 10 juta saja, tajir melintir deh. Enak saja mereka jelek-jelekin Tere Liye, itu tidak sesuai fakta, pencemaran nama baik, penggiringan opini, dan merugikan saya.
Aduh. Saya jadi tambah sedih ini.
Sambil mikir.
Kenapa sih hal-hal sepele bisa jadi panjang dan serius? Bukankah, kalaupun orang-orang memang bilang kita itu jelek, tapi kita terus berkarya, terus melakukan yang terbaik, besok-besok akan terlihat dengan sendirinya siapa yang cuma jago komen, siapa yang memang jelek? Kenapa sih kita tidak bisa dewasa dikiiit saja. Tidak semua kan segala sesuatu itu harus berakhir di pengadilan. Tuntut-menuntut.
Baiklah. Setelah dipikir-pikir, saya batal nuntut netizen. Karena bukan apa-apa. Kayaknya saya itu memang masih jelek tulisannya. Mending terus produktif, memperbaiki tulisan saja.
Besok-besok, saat orang-orang yang bilang jelek itu ke toko buku, mereka mesti kaget. Ini kok buku-buku jelek, nyaris menuhin rak-rak, meja-meja toko buku. Mesti gara-gara tidak laku. Karena kalau laku, mana mungkin numpuk. Tuh kan, terbukti memang jelek.
Tabik.
(By Tere Liye)