Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat
Di masa kenabian para shahabat tidak pernah meributkan urusan mazhab-mazhab. Sebab di masa itu memang belum lagi berdiri empat mazhab seperti yang kita kenal sekarang.
Imam Abu Hanifah baru lahir tahun 80 Hijriyah. Waktu itu Nabi SAW sudah wafat 70 tahun sebelumnya.
Imam Asy-Syafii lebih jauh lagi. Beliau baru lahir tahun150 Hijriyah.
Wajar bila di masa kenabian para shahabat itu tidak bermazhab. Bagaimana mau bermazhab, imam mazhabnya saja pada belum lahir
oOo
Para shahabat bukan hanya tidak bermazhab, bahkan merekapun juga tidak pernah menggunakan Hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan hadits-hadits para perawi lainnya.
Imam Bukhari baru lahir tahun tahun 194 dan Imam Muslim baru lahir tahun 204 hijriyah.
Wajar bila para shahabat tidak merujuk Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Sebab keduanya belum pada lahir waktu itu.
oOo
Sebagaimana mereka tidak bermazhab, mereka pun tidak pernah pakai hadits Shahih riwayat para imam hadits.
Kenapa?
Karena semua itu tidak perlu, toh mereka hidup bersama Nabi SAW. Bahkan mereka tinggal di Madinah.
Mereka adalah para shahabat, orang yang masuk Islam dan bertemu langsung dengan nabi SAW serta wafat sebagai muslim.
Kalau ada masalah hukum, Nara sumber paling kompten ada di depan mata. Dalam sehari ketemu Nabi SAW setidaknya lima kali, yaitu ketika shalat jamaah di masjid Nabawi.
Mereka itulah generasi yang berhak bicara: Tidak perlu ulama, tidak perlu Mazhab, bahkan tidak perlu hadits Shahih.
oOo
Bagaimana dengan kita?
Bisakah kita bilang: Saya tidak perlu ulama? Bisakah kita sesumbar: Buang saja mazhab-mazhab itu?
Bisakah dengan sotoy kita nyinyir: Saya tidak perlu fiqih, cukup Nabi SAW saja sebagai kiyai ku?
Jelas tidak bisa. Jangankan kita yang hidup di abad 14 Hijriyah, bahkan para tabi'in pun tidak ada satupun yang ketemu langsung dengan nabi SAW.
Para tabiin itu hanya ketemu dengan shahabat. Mereka tidak pernah punya akses langsung kepada Nabi SAW.
Bahkan para tabi'in pun tidak bisa mengaku-ngaku sebagai orang yang paling mengenal Nabi SAW. Tak seorang dari tabi'in itu yang pernah lihat bagaimana Nabi SAW shalat, zakat, puasa, haji dan mengerjakan amalan-amalan lainnya.
Mereka kenal Nabi SAW hanya lewat cerita. Ya, cerita yang disampaikan oleh para shahabat. Dimana cerita para shahabat itu bisa saja beda-beda cara menyampaikannya.
oOo
Namanya juga cerita, tentu ada banyak versinya dan banyak keunikannya juga.
Misalnya peristiwa haji wada' di tahun kesepuluh Hijriyah yang diikuti tidak kurang dari 60 ribu shahabat.
Banyak cerita yang sama dan terkonfirmasi dari sekian banyak jalur riwayat para shahabat.
Namun . . .
Namun asal tahu saja, ada juga versi-versi yang saling berbeda dan yang pada bertentangan dari banyak jalur shahabat itu.
Contohnya tentang status haji Nabi SAW, apakah beliau berhaji Tamattu, Qiran atau Ifrad?
Ternyata kita menemukan ratusan jalur riwayat yang berbeda versinya. Ada riwayat menyebut Tamattu, riwayat lain menyebut qiran. Dan riwayat lainnya lagi menyebut Ifrad.
Uniknya, ternyata semua versi itu sama-sama shahihnya, sama-sama riwayat para shahabat.
Kalau sudah begitu, kira-kira dimana letak salahnya? Apakah para shahabat pada saling berdusta? Ataukah mereka hanya mengira-ngira saja?
oOo
Tulisan singkat ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan :
Dari sepuluh versi mutawatir qiraat yang berbeda itu (Qiroah 'Asyrah), manakah yang digunakan oleh Nabi SAW?
(*)