Sumpah Peranakan Arab
4 Oktober 1934, atau 87 tahun lalu, di Semarang, sekelompok anak muda peranakan Arab mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab:
1. Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia;
2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri;
3. Peranakan Arab harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.*)
Sumpah tersebut selanjutnya diberi arti dan dimaknai sebagai Hari Kesadaran Bangsa Indonesia Keturunan Arab dan sempat diperingati beberapa kali setiap tahunnya di seluruh Indonesia.
Sumpah tersebut diikuti keesokan harinya pada 5 Oktober 1934 dengan pendirian sebuah organisasi yang disebut “Persatuan Arab Indonesia” atau disingkat dengan PAI dimana A.R. Baswedan (kakek Anies Baswedan) menjadi ketua dan pimpinannya. PAI akhirnya berubah menjadi Partai Arab Indonesia pada 1940.
Sumpah tersebut merupakan sebuah langkah dan aksi yang sangat “berani” atau bahkan bisa disebut sebagai tindakan nekat pada waktu itu, karena pada masa itu negara “Indonesia” belum ada secara resmi, bangsa Indonesia masih di bawah tahanan kolonial Belanda. Kemerdekaan belum ada di tangan kita, tidak ada yang mengetahui kapan kita akan merdeka.
Lebih-lebih masa itu merupakan sebuah masa yang cukup genting dalam perjuangan bangsa, karena di saat itulah Belanda mulai gencar menangkap dan menahan tokoh-tokoh Nasionalis bangsa, karena Belanda takut atas aksi dan gerakan mereka yang bisa mengguncang dan merubuhkan tiang-tiang kolonialisme yang selama itu telah berhasil mereka bangun di bumi Indonesia.
Penulis: Nabil A. Karim Hayaze', _Kumpulan Tulisan & Pemikiran Hoesin Bafagih: Tokoh PAI dan Nasionalis Keturunan Arab_, 2017: 3-4, dengan sedikit penyuntingan bahasa.
*) A.R. Baswedan, _Beberapa catatan tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab_, Penerbit Pers Nasional Surabaya 1974, hal 11
(Yusuf Maulana)