Oleh: Yusuf Blegur
Ini tentang sunyinya aspirasi. Mencoba setengah revolusi, meski tertatih-tatih dan diambang frustasi.
Negaranya kaya luar biasa. Sumber daya alamnya dimana-mana. Sayangnya bukan anak negeri yang menguasai dan mengelola. Buminya berlimpah harta. Rakyat membayar 405 triliun sekadar bunganya. Sementara utang pokoknya negara tak terkira.
Rakyat hidup sengsara, juga ditambah menangung pajak beraneka. Ada yang hidup miskin semakin miskin, ada yang hidup kaya semakin kaya. Pejabatnya hidup dari jatah proyek negara. Pemimpinnya menikmati komisi pembangunan yang sia-sia.
Banyak tokoh menjual citra dan basa basi. Pemerintah dan politisi beraksi dengan janji-janji. Pucuk birokrasi menjadi tirani sambil membunuh demokrasi. Kekuasaan keji tak punya hati, tak punya nurani. Haus gengsi dan puja puji. Bawahan setia menjadi keset dan anjing penggonggong.
Koalisi terus menjulur lidahnya, menjilat-jilat kesana-sini. Merapat saling bersiasat dalam konspirasi. Lapar kenikmatan dunia tak bertepi. Berkerumun berebutan menyantap oligarki. Menikmati hegemoni dan dominasi politik ekonomi.
Rakyat dijejali pandemi. Kehadiran agama dibatasi. Ulama dan Kyai sejati dibenci. Habaib yang berani semakin dimusuhi. Penyelenggara negara semakin abai dari mengingat kebesaran Tuhan. Mengagungkan sistem hidup tanpa religi.
Oposisi bersikap hati-hati. Sambil terus mengamati dan sesekali bereaksi. Kesadaran rakyat menepi. Berhitung melakukan aksi dan demonstrasi. Kreatifitas dan aspirasi dikebiri. Kalau selamat menemui jeruji. Perlawanan sengit diburu sampai mati.
Sampai kapan luka bangsa terus menganga? Membiarkan para durjana berkuasa. Memelihara duka nestapa. Rakyat menderita sepanjang masa. Haruskah rakyat berputus asa? Menunggu datangnya malaikat pencabut nyawa. Menyongsong maut, menikmati mati berdiri ala Indonesia.
(Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari)