MABUK GELAR
Oleh: Joko Intarto
Pentingkah pencantuman gelar akademik seseorang? Saya menganggap tidak penting. Tapi bagi sebagian orang, gelar itu penting banget.
Dulu, pada awal menjadi wartawan Jawa Pos, saya pernah dipanggil seorang pejabat humas di sebuah instansi, gara-gara tidak menyebutkan gelar bossnya dalam pemberitaan. Kata pejabat itu, bossnya kecewa karena gelarnya tidak ditulis di Jawa Pos. Apalagi gelar itu diperolehnya dengan susah payah.
Sementara di redaksi Jawa Pos berlaku prinsip efektivitas kata. Sepanjang tidak membuat perubahan maksud, penulisan gelar tidak wajib dalam sebuah berita. Bila pun harus ditulis, cukup sekali saja pada penyebutan pertama.
Bayangkan betapa susahnya membaca berita kalau semua gelar narasumber ditulis lengkap. Apalagi kalau gelarnya banyak.
Lagi pula apa pentingnya gelar-gelar itu ditulis? Gelar akademis itu hanya cocok untuk penulisan ilmiah atau saat menjadi pembicara seminar. Bukan untuk konsumsi pembaca surat kabar.
Persoalan gelar akademis kembali ramai diperbincangkan belakangan ini. Gara-garanya, Universitas Negeri Jakarta, berencana memberi gelar honoris causa kepada Ma'ruf Amin dan Erick Thohir. Rencana itu ditentang aliansi dosen UNJ karena dinilai menabrak aturan pemberian gelar yang disusun UNJ sendiri.
Saya termasuk yang tidak setuju dengan pemberian gelar honoris causa kepada siapa pun. Terutama kepada pejabat publik dan politik yang tengah berkuasa.
Namanya saja gelar honoris causa. Berarti gelar yang diberikan lembaga pendidikan kepada seseorang sebagai bentuk penghargaan. Kampuslah yang menjadi inisiator.
Beda dengan gelar akademik yang bukan honoris causa. Penerima gelar itu harus menjadi pihak yang aktif dengan cara menempuh jenjang pendidikan hingga lulus.
Nah, sekarang pejabatnya tidak mencari-cari gelar. Kenapa kampus ingin memberi gelar?
Arti HONORIS CAUSA yang tepat mungkin ini: Di balik gelar itu ada honornya....
(fb)