Menteri Senior di Pandora Papers
TERUNGKAPNYA dua anggota kabinet Presiden Joko Widodo yang pernah membuka perusahaan cangkang di negara surga pajak semestinya ditelusuri aparat penegak hukum. Langkah itu penting dilakukan karena ada indikasi mereka menghindari pajak dan tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya.
Nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto muncul dalam dokumen Pandora Papers yang berisi bocoran data finansial dari 14 agen perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Airlangga, seperti disebut dalam dokumen itu, mendirikan dua perusahaan cangkang di British Virgin Islands, yurisdiksi suaka pajak di kawasan Karibia.
Adapun Luhut diketahui menghadiri rapat direksi perusahaan bernama Petrocapital S.A., yang terdaftar di Republik Panama, pada 2007-2010. Bukan kali ini saja nama Luhut dikaitkan dengan perusahaan cangkang. Pada 2016, nama Luhut juga terseret dalam skandal yang hampir sama: Panama Papers.
Dua menteri ini tentunya punya hak mengelak. Airlangga mengklaim tidak mengetahui pendirian Buckley Development dan Smart Property. Sedangkan Luhut, melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi, menyatakan hanya menjabat eksekutif Petrocapital selama tiga tahun sejak 2007.
Hal yang patut dipertanyakan adalah transparansi kedua menteri ini sebagai pejabat publik. Dari bocoran Pandora Papers, mereka dicurigai tidak melaporkan perusahaan luar negerinya. Tindakan mereka itu tentu saja melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Aturan ini mengharuskan pejabat melaporkan harta kekayaan sebelum, selama, dan sesudah menjabat.
Banyak pebisnis menggunakan perusahaan cangkang untuk urusan legal, yakni mempermudah transaksi. Tapi dokumen Pandora Papers justru mengungkap modus lain, yaitu dugaan menyembunyikan data diri dan mencuci uang hasil kejahatan. Walhasil, tidak ada jaminan bahwa pejabat publik yang berbisnis memakai perusahaan cangkang bebas dari praktik lancung tersebut.
Presiden Joko Widodo perlu mengungkap hingga benderang motif dua menteri tersebut membuka perusahaan cangkang. Tentu penelusuran ini tidak cukup hanya dengan meminta penjelasan mereka, dan selesai begitu saja. Langkah lebih maju bisa dilakukan Jokowi dengan meminta Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut indikasi tindakan melawan hukum.
Dengan sikap tegas, pemerintah sekaligus bisa mengambil momentum tersingkapnya Pandora Papers untuk mengusut segala rupa skandal penghindaran pajak di Tanah Air yang belum terungkap. Jokowi tidak boleh membiarkan temuan itu, dan kasus ini berlalu begitu saja seperti Panama Papers pada 2016.
Selain soal transparansi pejabat publik, langkah tegas dan berani bisa mendorong optimalisasi pungutan pajak dari masyarakat. Kampanye reformasi pajak sudah dimulai sejak 1983 dengan mengenalkan konsep bahwa pelaporan dan pemungutan pajak oleh wajib pajaknya sendiri hanya akan efektif jika para pejabat mengikuti aturan.
Pembiaran atas tindakan lancung penghindaran pajak bisa mengikis kepercayaan publik kepada pemerintah. Mereka akan menganggap bahwa kewajiban membayar pajak tidak bisa menyentuh orang kuat yang mampu menyembunyikan uang mereka tanpa melanggar hukum.
Kebocoran data ini juga memperlihatkan bahwa pejabat publik mengabaikan kebijakan pajak yang dibuat pemerintah sendiri. Dan ini kabar buruk bagi Indonesia, negara dengan rasio pajak masih rendah.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, 5/10/2021)