Ketika Teuku Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia Syahid pada 29 Juni 1878. Sejak itu Cut Nyak Dhien menjadi janda dengan seorang anak. Namun Ia tetap ikut berperang melawan Belanda. Baginya tidak ada damai dengan musuh. Musuh itu kaphe (kafir) penjajah yang wajib di perangi dan di usir.
“…Mengungsilah! Semoga Tuhan melindungimu! Tujuh puluh pengawal bersenjata aku tinggalkan untuk kamu pimpin. Sekalian mereka itu adalah kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan Allah…”
Itulah pesan akhir Teuku Ibrahim Lamnga pada isteri tercintanya, Cut Nyak Dien. Dan perjuangan Teuku Ibrahim Lamnga mempertahankan tanah airnya, makin menambah rasa cinta isterinya Cut Nyak Dien.
Serpihan sejarah kisah cinta dua pejuang sejati itu dikisahkan dalam buku M.H. Szekely-Lulofs, seorang puteri Lulofs, yang pernah bertugas di Sumatra Utara.
Kisah cinta heroiik itu dapat dibaca dalam buku Tjoet Nya Dhien: Riwajat Hidup Seorang Puteri Atjeh yang kemudian diterjemahkan A. Muis, setelah beberapa tahun Indonesia merdeka.
Syahidnya Teuku Ibrahim Lamnga membuat hati Cut Nyak Dhien sangat sedih dan bersumpah akan melanjutkan perjuangan suaminya untuk mengusir kaphé Belanda. Ia mewarisi tekad Teuku Ibrahim Lamnga. Teuku Ibrahim Lamnga adalah guru dan cinta pertamanya. Pada Teuku Ibrahim Lamnga ia belajar komitmen dan seni pedang. Ia bertekad hanya akan menikah lagi dengan lelaki yang akan meneruskan perjuangan suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga.
Komitmen ini terdengar hingga ke telinga Teuku Umar, sepupunya yang tinggal di Meulaboh. Teuku Umar pun datang untuk melamar Cut Nyak Dhien, tapi ditolak mentah-mentah oleh Cut Nyak Dhien.
Namun bukan Teuku Umar namanya jika mudah menyerah. Ia akhirnya berpura-pura terluka akibat serangan Belanda untuk merebut simpati dari Cut Nyak Dhien.
Alkisah di suatu hari, Teuku Umar ditandu hingga ke depan rumah Cut Nyak Dhien. Teuku Umar terlihat berdarah-darah.
“Pakon nyan?” tanya Cut Nyak Dhien penasaran.
“Lon keuneuk jak woe bak Allah,” jawab Teuku Umar.
“Bek. Ta peu ubat dilee. Harus ta peu ubat. Bek putoh asa,” kata Cut Nyak Dhien.
“Bah mate mantong. Cut Nyak tulak (menolak lamaran-red) lon,” ujar Teuku Umar lagi.
Mendengar hal ini, Cut Nyak Dhien tereyuh. “Bek. Tapeu ubat nyoe dilee. Ban leuh nyan baroe ta peu ubat luka nyan (hati-red),” kata Cut Nyak Dhien.
“Hana peu. Cut Nyak jok ubat mantong bak lon,” ujar Teuku Umar lagi.
Siasat Teuku Umar berhasil. Pernikahan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pun kemudian berlangsung pada 1880 atau 2 tahun setelah Teuku Ibrahim Lamnga meninggal. Suatu ketika, saat Teuku Umar mandi, Cut Nyak Dhien melihat badan Teuku Umar tak ada lagi bekas luka seperti saat ditandu beberapa waktu lalu.
“Teuku, pat luka,” tanya Cut Nyak Dhien. Teuku Umar tahu maksud Cut Nyak Dhien. Dia pun mengaku kalau luka itu hanyalah akal-akalannya agar Cut Nyak Dhien mau menikah dengan dirinya.
Keromantisan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien tak berlangsung lama. Harapan Cut Nyak Dhien agar Teuku Umar menjadi sosok pengganti Teuku Ibrahim hilang pada 1883 atau tiga tahun usai mereka menikah.
Hati Cut Nyak Dhien semakin hancur, saat Umar membelot ke Belanda. Ia terlibat perang dengan para pejuang Aceh, menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh, salah satu unit pejuang Aceh yang terdiri dari pasukan perempuan.
Teungku Fakinah kemudian menemui Cut Nyak Dhien.
“Yu Jak beureujang Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee.”
Perkataan ini menusuk sanubari Cut Nyak Dhien, melalui Pang Karim, sosok yang dikenal dengan Teuku Meulaboh, panggilan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien menitip pesan ke suaminya itu yang berada di markas Belanda itu.
“Tunggu Apalagi Pang Karim!! (Bentak Cutnyak Dhien), sampaikan kepada Teuku Umar bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran (Markas Sukey Fakinah). Sekarang, barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi, pria melawan wanita yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: jangan- lah menyusu pada badak,” kata Cut Nyak Dhien dalam bahasa Aceh.
Pesan ini sampai ke telinga Teuku Umar dengan cepat. Teuku Umar gundah. Sekitar tahun 1884, Umar kembali membelot ke pejuang Aceh.
Namun September 1893, Teuku Umar kembali menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaradja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.
Kemudian pada 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter.
Teuku Umar sendiri meninggal pada 1899, tertembak dalam gempuran pasukan Van Heutsz. Cut Nyak Dhien meneruskan perjuangan hingga dibuang ke Sumedang.