Kemenangan Awal Anies Itu Sudah di Pegangan Tangan
Oleh: Dairy Sudarman*
Ketika Anies Baswedan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, kemenangan itu hasil buah manis demokrasi geniun, bersih dan murni, bersumber dari suara rakyat. Tanpa kontrak politik dengan partai, tanpa kontrak ekonomi dengan korporasi konglomerasi “vested interested” alias oligarki.
Makanya, Anies bekerja membangun Jakarta tanpa beban, tanggung jawabnya hanya satu memenuhi tugas, amanah dan kewajiban merealisasikan janji-janji kampanyenya.
4 tahun sudah jabatannya dijalani, janji-janji itu nyaris seluruhnya dipenuhi. Pembuktian Moto “Jakarta Maju Bersama Bahagia Warganya” dan “Jakarta Kolaborasi”, 4 tahun itu seperti dibagi dua time line kinerja keras Anies: tidak saja menunjukkan kematangan kuantitas pada target program. Bahkan, kualitas kinerja pada visi kebersatuan dan berkeadilan begitu berasa untuk warganya.
Sehingga, Jakarta menjadi seperti sekarang aman, bersahaja dan nyaman dengan puluhan kemenangan penghargaan di pelbagai bidang, tidak hanya di dalam negeri, bahkan Internasional.
Dan keniscayaan kemenangan kemajuan prestasi membangun Jakarta itu diakui jujur dan ilmiah secara akademik. Bukan sekadar promosi dibuat-buat hasil sogokan atau suatu kepentingan konspirasi.
Yang lebih mengundang decak kekaguman lagi, kinerja Anies itu dibuktikan ketika bersama kota-kota lainnya di seluruh dunia menghadapi wabah pandemi Covid-19, Anies lah yang pertama kali menginiasiasi cara penanggulangan di Indonesia, sebelum ada pelibatan Pemerintah Pusat.
Dan bila boleh jujur, inisiasi itu dalam keberhasilan menghadapi kompleksitas perkembangan betapa bahaya aral pandemi Covid 19 yang melanda Jakarta sedemikian itu, berimplikasi positif bagi cara penanggulangan di mulainya keterlibatan Pemerintah Pusat dan diikuti pula oleh kota-kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pijakan dasar keberhasilan Anies mengatasi pandemi itu, sesungguhnya kuncinya terletak pada pendekatannya yang selalu secara ilmiah. Dikarenakan memang masalah pandemi Covid-19 itu harus dihadapi dengan pendekatan keterpaduan keilmuan antara di bidang kedokteran, farmasi dan ilmu kesehatan masyarakat, serta pandemiologi itu sendiri.
Membuka Lembar Catatan Sejarah
Namun, selama 4 tahun itu bukan berarti tanpa sarat dengan cemoohan (bullying). Bahkan, seringkali menyasar ke kritik negatif, tak berdasar, bahkan fitnah.
Ironisnya, itu dilakukan oleh tidak saja oleh para pendendam politik, “luka hati lama” karena dikalahkan. Bahkan, memang sengaja dibuat pencemooh, seperti: perilaku para buzzeRp dan influenceRp di media sosial. Belum lagi “serangan”berasal dari lembaga parlemen di daerahnya dengan para fraksi dan komisi partai yang berseberangan dengannya.
Membuka lembar catatan sejarah, ternyata konsistensi adanya para pemberisik dan pencemooh itu boleh jadi pangkalnya berawal dari kekalahan Ahok. Kekalahan Ahok itu bagi mereka sebuah tragedi tragis yang amat besar.
Justru, suatu kebalikan dari misi Ahok yang lainnya berhasil membawa Joko Widodo, mantan pasangan Gubernurnya, menghantarkannya ke posisi puncak Presiden RI. Yang sungguh mengenaskannya, Ahok sudah kalah, malah dijebloskan ke penjara.
Saat PilPres Joko Widodo yang berasal dari Solo hanya “Ordinary Man” mana ada dana. Disinyalir dari para oligarki yang dikenal dengan 9 Naga.
PDIP yang terpilih menjadi kendaraan partai rupanya tidak cukup hanya syarat itu. Joko Widodo yang kebetulan sudah menjadi anggota PDIP semenjak menjabat Walikota Solo, sudah menjadi Presiden pun, harus tetap menyandang gelar menjadi petugas partai.
Berbeda dengan Anies ketika menang meraih Gubernur, tak ada kontrak-kontrakan politik dan ekonomi seperti itu, kecuali kontrak sosial itu pun hanya dengan NGO-NGO yang memiliki kepentingan sama untuk memajukan Jakarta, serta didukung oleh puluhan NGO Islam, para ulama dan umat Islam yang dilokomotif oleh PA 212 pimpinan Habib Rizieq Shihab yang kebetulan tengah menuntut Ahok ke jalur hukum karena menistakan agama Islam.
Singkatnya, hingga 5 tahun periode pertama Joko Widodo menjalankan jabatan Presiden implementasi kepemimpinannya pelan tapi pasti malah seperti semakin menjauh dari amanah rakyat yang diembannya.
Bahkan, banyak ingkar menumpuk kebohongan dari janji-janji kampanyenya. Sampai para aktivis mahasiswa di banyak BEM universitas, khusus UI menjulukinya “King of The Lips Service” tentu dibeberkan dengan pembuktian fakta akademis betapa nyata tumpukan kebohongan-kebohongan itu.
Sementara itu, akibat dampak sistem pemilihan politik Presiden Threshold polarisasi rakyat memunculkan dua kutub kubu, populer dengan sebutan “cebong” dan “kampret”. Ditambah, dendam yang masih membara sebagai bentuk pembelaan kepada “Sang Pemberi Jasa” .
Bukannya melakukan upaya restorasi “social justice” dengan upaya mempersatukan dan memperdamaikan. Malah sebaliknya, legitimasi kepemimpinannya semakin nyata menunjukkan sikap keberpihakan pada elitis partai dan oligarki yang telah menggiringnya ke istana. Jadilah, lembaga Presiden bak “Puppets” bagi dua kepentingan konspirasi oligarki dan partai itu.
Anies dan Pengembalian Kedaulatan Rakyat
Tetapi, Anies yang tengah mengakhiri kepemimpinannya di Jakarta dengan pelbagai prestasi keberhasilan nyata adalah “icon positif” bahwa fungsi kepemimpinannya dengan bersandar dari dan oleh atas nama kedaulatan rakyat itu terbukti masih nyata dan ada di negeri kita.
Bahkan, dengan pelbagai program-programnya yang terimplementasikan di Jakarta sekaligus sebagai miniatur Indonesia, perwujudan kekuatan kedaulatan rakyat itu terbuktikan dengan semakin mengencangkan ikatan keberagamaan, kebersatuan dan keberadilan di antara seluruh warganya. Selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang hanya sebagai simbol retorika rezim penguasa saat ini.
Anies adalah contoh fakultasi akademis sekaligus nyata suatu kepemimpinan yang didasari kedaulatan rakyat yang kini telah diporak-poranda dan menghilang di negeri ini.
Ini akan menjadi kunci kemenangan awal yang sesungguhnya sudah di pegangan tangannya, bilamana Anies mau mencalonkan diri di Pilpres 2024 merebut kompetisi kepemimpinan nasional dengan caranya dulu merebut jabatan Gubernur, demikian juga meraih jabatan Presiden dengan mengembalikannya kepada kepentingan kedaulatan rakyat sepenuhnya.
Dan sekali lagi, jangan sekali-sekali mengulang kesalahan pemimpin pendahulunya yang menggunakan oligarki dan partai politik sebagai pendulum bagi peraihan kemenangan kekuasaannya.
Yang pada akhirnya akan membuat rakyat terkatup aspirasinya, tertindas, dan terzalimi. Menciptakan jalan panjang di negeri yang sesungguhnya kaya, tetapi hanya akan menyengsarakan dan memenderitakan rakyat saja. Wallahualam Bishawab.
•) Penulis adalah pemerhati sosial dan politik