[PORTAL-ISLAM.ID] JAKARTA - Anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), Tatak Ujiyati, menanggapi 10 poin rapor merah Anies Baswedan yang dibuat oleh LBH Jakarta.
Kontra narasi ini disampaikan Tatak melalui akun Facebook pribadinya, pada Sabtu, 23 Oktober 2021.
"Saya telah membaca rapor merah LBHJ tentang 4 tahun kepemimpinan Anies Baswedan di Jakarta. Kesimpulan saya, rapor merah LBHJ itu memaparkan banyak fakta keliru. Lebih parah lagi rapor itu punya kelemahan fatal secara metodologi," kata Tatak Ujiyati.
Berikut adalah 10 cacatan merah untuk Anies Baswedan dari LBH Jakarta dan jawaban yang dibuat anggota TGUPP tersebut:
1. Soal kualitas udara Jakarta, katanya Pemprov DKI Jakarta abai melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan.
Faktanya, Pemprov DKI tidak ajukan banding atau melawan putusan pengadilan. Berbeda dengan Pemerintah Pusat yang ajukan banding, Pemprov DKI memilih menerima putusan pengadilan dan melakukan upaya pengendalian pencemaran udara sesuai amar putusan hakim. Pemprov DKI Jakarta juga telah menerbitkan Ingub 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara dengan 7 rencana aksi bahkan sebelum keluarnya putusan pengadilan.
2. Soal air bersih, katanya Anies tidak punya upaya menghentikan swastanisasi air di DKI Jakarta.
Faktanya, Anies telah berusaha menghentikan swastanisasi air. Anies tidak melakukan banding atas putusan pengadilan yang memenangkan warga agar pengelolaan air dikembalikan kepada negara. Bahkan Anies membentuk Tim Tata Kelola Air Minum yang bertujuan membuat kajian sebagai dasar kebijakan untuk melakukan pengambilalihan pengelolaan dari swasta.
PAM Jaya juga telah melakukan serangkaian langkah teknis pengembalian konsesi pengelolaan air kepada Pemprov DKI Jakarta.
Namun pada akhirnya proses ini terbentur pada putusan pengadilan yang memenangkan PK Kementerian Keuangan.
Faktanya, Anies telah menggunakan kebijakan untuk memberi akses air dengan harga yang sama untuk warga Kepulauan Seribu.
Faktanya, Anies telah menerbitkan aturan hukum yang membolehkan warga di kampung kumuh mendapatkan akses air bersih walau tidak tinggal di atas tanah milik sendiri.
3. Soal pengendalian banjir, katanya Pemprov DKI masih menyikapi banjir karena luapan sungai, sehingga fokus penanganannya dengan menghilangkan hambatan pada aliran sungai dan cenderung pada pengerasan (betonisasi).
Faktanya, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai program antisipasi banjir yang tidak berorientasi pada betonisasi seperti Program Gerebek Lumpur, Perbaikan saluran air, Penyediaan Alat Pengukur Curah Hujan, dan Perbaikan pompa.
Faktanya, dampak banjir di Jakarta berkurang pada 4 tahun pemerintahan Anies Baswedan walaupun curah hujan jauh lebih lebat.
4. Soal penataan kampung kota. Katanya Pemprov menggunakan kekuatan pihak ketiga (Ormas) untuk melakukan intimidasi dan kekerasan, seperti yang terjadi kepada warga Pancoran Buntu II.
Faktanya, Pemprov DKI tidak melakukannya. Penggusuran dilakukan oleh pemilik tanah sendiri yaitu PT Pertamina. Pemprov DKI malah berupaya melakukan mediasi agar tidak terjadi aksi kekerasan.
5. Soal bantuan hukum, katanya niat Pemprov DKI tumpul untuk mendorong bantuan hukum.
Faktanya, akar persoalan bantuan hukum bukan pada Pemprov DKI tetapi pada UU Bantuan Hukum yang membatasi akses bantuan hukum hanya kepada warga miskin dan dengan jumlah biaya yang teramat minim. Faktanya, walau belum ada Perda/ Perkada tentang bantuan hukum Pemprov DKI sendiri telah membuka diri membantu akses bantuan hukum melalui prosedur hibah. Bahkan LBHJ sendiri telah mendapatkan hibah bantuan hukum ini pada tahun 2019.
6. Soal hunian rumah DP0, katanya, rumah DP0 hanya diperuntukkan untuk orang berpendapatan Rp 14 juta.
Faktanya, orang berpendapatan SAMPAI Rp 14 juta boleh daftar. Perubahan kebijakan justru untuk mengakomodasi semakin banyak org mendapat akses pada program.
7. Soal warga pesisir, katanya RZWP3K disusun tanpa adanya Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RSWP3K) dan tidak melibatkan pastipasi masyarakat.
Faktanya, RSWP3K telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur No. 15 Tahun 2014. Faktanya, dalam proses penyusunan RZWP3K telah dilakukan rangkaian FGD serta Konsultasi Publik untuk menjaring masukan masyarakat dan stakeholder setidaknya 9 kali.
8. Soal penanganan pandemi, katanya jumlah tes Jakarta jauh dari standard.
Faktanya, jumlah tes Jakarta jauh melebihi Standard tes WHO. Standar WHO adalah 1 orang dites PCR per 1.000 penduduk PER MINGGU. Maka, Jakarta harus melakukan tes PCR terhadap 10.655 orang PER MINGGU atau 1.521 orang PER HARI.
LBHJ sendiri sudah menulis bahwa jumlah tes di Jakarta adalah 25-35 ribu PER HARI. Artinya, jumlah tes di Jakarta jauh DI ATAS standard WHO. Bahkan bila LBH salah mengartikan standard WHO sebagai 1 per 1.000 penduduk per hari pun jumlah tes Jakarta masih tetap berlipat di atasnya.
9. Soal penggusuran, katanya penggusuran paksa masih marak.
Faktanya Anies tak pernah diputus bersalah oleh pengadilan melakukan penggusuran paksa yang melanggar HAM. Sementara Pemprov DKI di bawah Ahok diputus bersalah karena menggusur Kampung Kunir.
Faktanya, data LBHJ lemah karena memakai data tahun 2018 dimana data kasusnya kebanyakan didapat dari berita media, tanpa dilakukan pengecekan lapangan, tanpa konfirmasi kepada Pemprov DKI sebagai yang terlibat. Tanpa triangulasi, validitas data lemah.
Faktanya, LBHJ tak bisa membedakan mana kategori penggusuran vs penertiban, penggusuran vs relokasi, penggusuran oleh pemprov DKI vs oleh swasta. Faktanya, Anies justru membangun kampung-kampung yang sebelumnya telah digusur oleh Ahok.
10. Soal reklamasi, katanya janji hentikan reklamasi hanya pepesan kosong.
Faktanya, Anies telah mencabut 13 ijin reklamasi untuk pulau-pulau yang belum terbangun.
Faktanya, kalau dulu Ahok dgugat oleh nelayan dan LBHJ sendiri untuk membatalkan ijin reklamasi, Anies justru digugat oleh pengembang agar membatalkan pencabutan.
Faktanya, jajaran Pemprov DKI telah berjibaku di pengadilan mempertahankan pencabutan ijin yang digugat oleh pengembang dan memenangkan 3 dari 5 gugatan.
***
Selain fakta yang keliru, metodologi rapor merah LBHJ teramat parah. Rapor merah tak memiliki ukuran penilaian (bench mark).
Seharusnya LBHJ belajar dulu dari cara guru SD memberi rapor pada murid-muridnya.
Rapor sekolah ukurannya jelas, nilai berupa angka 0 sampai 100 untuk menilai yang terburuk hingga terbaik.
Penilaian rapor didasarkan pada fakta yang dicatat baik oleh guru berupa indikator-indikator penilaian. Matematika dapat berapa, biologi dapat berapa dst. Nilai Matematika juga berasal dari akumulasi nilai tes semesteran, nilai tugas harian, PR dst.
Karena tak punya bench mark dan indikator maka rapor merah LBHJ tak bisa dicek apakah penilaiannya benar atau salah. Rapor anak SD bisa dicek akurasinya. Misalnya seorang anak dapat nilai rata-rata 50 dari mana saja asalnya. Orang tuanya juga bisa mengecek seandainya si Guru membuat kekeliruan dalam menilai.
Metodologi dan ukuran penilaian seperti inilah yang absen di Rapor Merah LBHJ kepada Anies Baswedan. LBHJ secara ngawur kasih nilai merah saja, tak jelas dari mana nilai merah itu berasal. Tak jelas indikator penilaiannya apa saja dan berapa nilai pada masing-masing indikator.
Pak Anies Baswedan sih menanggapi positif dan terbuka terhadap segala kritik dan penilaian LBHJ. Memberi tempat di pendopo untuk jumpa pers dan disambut oleh pejabat. Bahkan sempat dihubungi untuk ditemui langsung jika mau mundur sehari karena Pak Anies masih di luar kota.
Tapi boleh dong saya gantian mengkritisi rapor merah LBHJ. Melihat laporan rapor merah LBHJ yang lemah metodologi dan banyak data keliru itu. Maaf LBHJ saya kasih nilai 4 saja dari skala 10.
(Tatak Ujiyati)