Oleh: Anis Matta, Ketua Umum Gelora Indonesia
1. Kita mengenang peristiwa G30S PKI tahun 1965 sebagai tragedi pengkhinatan kepada bangsa dan ideologi negara. Sebaliknya, kita mengenang Hari Kesaktian Pancasila yang datang sehari sesudahnya sebagai momentum kemenangan ideologi negara dan kesetiaan pada bangsa.
2. Lebih dari setengah abad setelah peristiwa hitam itu, 46,4% publik masih percaya bahwa ancaman kebangkitan PKI itu nyata. Peristiwa hitam itu memang terlalu kejam dan bengis, sehingga lukanya sangat dalam. Pengkhianatan Berdarah dan Patriotisme Ideologi akan terus menghiasi wajah memori kolektif kita setiap bulan September dan Oktober.
3. Memori kolektif begitu selalu menjadi rujukan kognitif setiap bangsa ketika mereka membaca peta masa lalunya, tahapan-tahapan penting dalam perjalanan sejarahnya. Memori kolektif itu harus kita rawat, sebab itu membantu kita membaca situasi kita saat ini dan di masa mendatang.
4. Dalam perspektif kekinian dan masa depan itulah saya melihat ada 3 catatan penting. Pertama, yang paling buruk dalam sejarah ideologi Komunisme global bukan saja bahwa ia gagal bekerja sebagai sistem, tapi juga jejaknya dalam pembunuhan puluhan juta manusia atas nama ideologi. Puluhan juta rakyat Uni Soviet, China, dan negara-negara lain di bawah Sistem Komunisme menjadi menjadi korban kelaparan dan pembantaian. Itulah yang menyebabkan China segera beralih ke Kapitalisme begitu Mao wafat pada 1976. Lalu Uni Soviet runtuh tahun 1991 dan juga segera beralih ke Kapitalisme.
5. Sebagai ideologi, Komunisme tidak memiliki instrumen metodologi untuk melakukan koreksi dan pembaharuan di dalam dirinya. Itu yang membedakannya secara fundamental dgn Kapitalisme. Ide Sosialisme Pasar yang diperkenalkan Deng Xiaoping 1984 sebenarnya lebih merupakan “siasat bahasa” dan “mekanisme kontrol” yang ditujukan untuk mengelola transisi persuasif menuju Kapitalisme. Pasarnya bekerja dengan cara Kapitalisme, tapi kontrol atas populasi yang sangat besar dilakukan dgn instrumen ideologi Komunisme. Selama 30 tahun pertama pendekatan itu tampak efektif. Tapi kontradiksi sistemiknya dalam satu dekade terakhir ini mulai memperlihatkan tanda-tanda buruk.
6. Kedua, secara geopolitik peristiwa berdarah G30S PKI tahun 1965 itu merupakan “residu” Perang Dingin (1946-1991). Kita menjadi “korban” dari perang proxy antara Kapitalisme dan Komunisme, antara Blok Barat dan Blok Timur. Kita adalah “collateral damage” dalam tatanan dunia yang bipolar. Kedua blok itu berperang dalam sebuah drama yang tegang, dimana seluruh belahan dunia menjadi panggung, sedemikian tegangnya sampai ke tepi jurang, tapi yang masuk ke dalam jurang adalah kita. Bukan mereka. Sampai salah satunya kalah. Lalu runtuh.
7. Itu menjelaskan “kelas kasta” kita dalam percaturan geopolitik global. Itu nasib buruk atau takdir sejarah yang selalu menimpa bangsa-bangsa yang lemah dan lembek. Jika memori sejarah kita membuat kita menangis, sebenarnya kelemahan kolektif itulah yang harus kita tangisi. Itu akan membangkitkan harga diri kita sebagai bangsa. Dan lebih penting lagi, juga akan memaksa imajinasi kolektif untuk bekerja secara liar mencari peta jalan menjadi bangsa besar dan kuat. Itu juga akan mendorong kita tidak memberi toleransi moral dan politik untuk menjadikan bangsa dan negara kita sebagai “medan tempur” bagi kekuatan global, terutama di tengah konflik supremasi AS-China. Atau yg lebih buruk lagi, bahwa kita menjadi proxy dari salah satu kekuatan global itu.
8. Inilah waktunya Indonesia muncul sebagai kekuatan global baru. Itulah amanat Konstitusi kita: ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Dan itulah terjemahan operasional dari falsafah hubungan internasional kita: bebas aktif. Hanya dalam imajinasi masa depan seperti itu, memori sejarah kita bisa menjadi sumber inspirasi yang memaknai semangat keindonesiaan kita, dan memicu gelora kebangkitan kita. Cita-cita sejarah inilah yang seharusnya menjadi sumber nasionalisme baru yang kita butuhkan.
9. Ketiga, sejarah membuktikan bahwa agama dan keluarga adalah nilai utama bangsa Indonesia. Itu menjelaskan pilihan-pilihan tengah yang selalu diambil bangsa kita. “Watak Tengahan” itu merupakan antitesa dari semua bentuk ekstremisme, baik Kiri maupun Kanan. Watak Tengahan inilah yang sebenarnya terangkum dalam Pancasila sebagai platform kehidupan berbangsa kita. Ini juga yg akan menjadi “ikatan imajiner” yang bisa secara terus menerus mempersatukan kita sebagai bangsa besar, seperti ia mempersatukan menjelang kemerdekaan sebagai bangsa merdeka. Kita memiliki fondasi yang kokoh sebagai negara-bangsa moderen.
10. Kita tidak boleh membiarkan “dendam sejarah” merusak “mimpi masa depan” kita. Watak Tengahan itu juga memaksa kita tidak membiarkan para pendendam menarik kita ke belakang atau membelokkan arah sejarah masa depan kita. Kita harus fokus utk membalikkan krisis berlarut ini menjadi momentum kebangkitan Indonesia menjadi kekuatan global baru.
Gelorakan semangat Indonesia..!!
1 Oktober 2021