[PORTAL-ISLAM.ID] Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada empat tokoh.
Empat tokoh yang akan diberi gelar pahlawan itu adalah Tombolatutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, sutradara film Aji Usmar Ismail dari DKI Jakarta, dan Raden Arya Wangsakara dari Banten.
Gelar itu akan diberikan oleh Presiden Jokowi pada 10 November 2021 atau bertepatan dengan Hari Pahlawan di Istana Bogor. "Itu pahlawan nasional yang nanti akan diserahkan secara resmi kepada keluarga para almarhum di Istana Bogor. Kalau tidak berubah persis pada hari Pahlawan 10 November 2021," ujar Mahfud, Kamis, 28 Oktober 2021.
Berikut ini adalah profil dari empat tokoh tersebut.
1. Tombolotutu
Dilansir dari laman parigimoutongkab.go.id, wacana menjadikan Tombolotutu sebagai pahlawan nasional sudah disuarakan sejak sekitar tahun 1990. Namun, upaya tersebut terkendala dokumen resmi sebagai data primer.
Pada Tahun 2017, Universitas Tadulako berkerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong menggagas sebuah penelitian yang dituangkan dalam buku berjudul 'Bara Perlawanan di Teluk Tomini: Perjuangan Melawan Belanda' yang ditulis oleh Lukman Nadjamuddin dkk.
Dalam bedah buku tersebut 2018 lalu, tokoh masyarakat Kabupaten Parigi Moutong, Taswin Borman, mengatakan bahwa secara historis Tombolotutu layak menjadi pahlawan nasional. Merujuk ke buku tersebut, ia mengatakan banyak kisah yang ditunjukan Tombolotutu saat melawan Belanda. Salah satunya, ketika Pemerintah Belanda menurunkan Pasukan Marsose untuk menumpas perlawanan Tombolotutu.
Kala itu pasukan Marsose yang diturunkan untuk menumpas perlawanan Tombolotutu kurang lebih berjumlah 170 pasukan "Kita sudah bisa membayangkan bagaimana kekuatan Tombolotutu saat itu, meski dengan pasukan Marsose, Belanda tidak pernah berhasil menumpas Tombolotutu. Ini data sejarah. Karena itu menurut saya Tombolotutu layak diusulkan menjadi Pahlawan Nasional,” kata Taswin Borman.
2. Sultan Aji Muhammad Idris
Sultan Aji Muhammad Idris telah beberapa kali diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Aji Muhammad Idris adalah sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Semasa hidupnya, ia diangap anti kolonialisme dan anti pola perdagangan monopoli seperti yang dilakukan VOC. Dilansir dari laman kesultanan.kutaikartanegara.com, Aji Muhammad Idris pun tercatat sebagai sultan yang pertama kali menggunakan nama islam di kerajaan tersebut.
Ia, yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng, berangkat ke Wajo, Sulawesi Selatan untuk bertempur bersama rakyat Bugis melawan VOC. Aji Muhammad Idris gugur di medan laga pada 1739.
3. Aji Usmar Ismail
Usmar Ismail adalah salah satu maestro perfilman tanah air. Ia aktif pada periode 1950-1970. Tak hanya membuat film, ia juga aktif serta punya karya di bidang penulisan drama dan puisi. Karena itu, pria kelahiran Bukittinggi, 20 Maret 1921, ini dianggap sebagai salah satu tokoh yang menggeliatkan teater dan film di tanah air.
Semasa hidupnya, ia pernah terlibat dan menjadi Ketua Permusyawaratan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948), ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948), ketua Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1955-1965), serta ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN). Ia juga dikenal sebagai pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia bersama beberapa pengusaha film lain.
Beberapa judul film yang pernah ia garap di antaranya, Harta Karun (diangkat dari karya Moliere) pada tahun 1949. Lalu film Tjitra (1949) diangkat dari kisah dalam naskah drama buatannya. Judul ini lantas menjadi nama piala ajang Festival Perfilman Indonesia tiap tahunnya.
Film Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Lewat Djam Malam (1954), Lagi-Lagi Krisis (1955), Tiga Dara (1956), Tamu Agung (1955), Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962), Anak-Anak Revolusi (1964), Ananda (1970) adalah beberapa karyanya.
4. Raden Aria Wangsakara
Raden Aria Wangsakara dikenal sebagai pendiri wilayah Tangerang. Dilansir dari Antara, Aria adalah keturunan Raja Sumedang Larang, yaitu Sultan Syarief Abdulrohman.
Lantaran tak sepaham dengan keluarga, Aria yang juga penyebar agama Islam akhirnya merantau ke Tangerang melalui Sungai Cisadane pada 1640. Ia lantas menetap dan membangun pesantren di Kawasan Grendeng Karawaci.
Dalam keberjalanannya, Belanda tidak setuju dengan keberadaan pesantren yang dibangun Aria. Tak pelak, pertempuran pun terjadi antara rakyat Tangerang di bawah kepemimpinan Aria Wangsakara dengan penjajah. Aria pun gugur dan dimakamkan di Desa Lengkong Kyai, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Wilayah tersebut kini telah ditetapkan sebagai daerah cagar budaya.
(Tempo)