Sejumlah pegawai KPK yang termasuk dalam 57 pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mengaku ditawari masuk BUMN. Kata pihak KPK, itu untuk membantu mereka. Jadi mereka diminta teken dua jenis surat: 1) surat pengunduran diri; 2) pernyataan bersedia disalurkan ke BUMN.
Yang menawari adalah Deputi Pencegahan dan Sekjen KPK.
Kita tidak bicara soal bantu-membantunya. Semoga Tuhan memberikan jalan rezeki baru buat mereka yang diberhentikan itu. Kita bicara IDE ini macam mana asalnya, ada agenda apa di baliknya.
Saya kutip pendapat ICW: pemberantasan korupsi hancur di era Jokowi!
Tawaran masuk BUMN itu jebakan. Jika diterima, itu artinya membenarkan cara 'penyingkiran' model TWK itu. Dengan prosedur yang diduga bermasalah dan materi soal yang bias segala macam. Itu menyimpan pesan, jika model itu bisa diberlakukan di KPK, ke depan bukan tidak mungkin berlaku pula untuk standar pemilihan ketua kelas SD anak saya. Itu akan jadi acuan, 'standar manajemen lembaga negara'. Menurunkan 'kebodohan' ke anak-cucu.
Sadarkah Jokowi? Sampai pikirannya ke sana?
BUMN adalah satu soal, yaitu lini bisnis negara dan penyokong public service. KPK adalah soal lain, 'pabrik' kasus korupsi (isinya penyelidik, penyidik, jaksa yang urus perkara korupsi). Di dalamnya, ada pula urusan kasus-kasus korupsi di BUMN.
Pemerintahan Jokowi ini mau ajarkan apa kepada masyarakat? Mereka yang sebelumnya menangani perkara korupsi BUMN, sekarang ditawari menjadi bawahan orang-orang yang diduga merupakan bagian dari perkara.
Pesan sederhana bisa kita tafsirkan ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengamanan kasus. Pegawai KPK itu bukan cuma membawa badan mereka sendiri, tapi ingatan, berkas, akses informasi, jaringan sumber daya manusia, dan hal-hal sejenis yang sifatnya confidential.
Bagaimana jika misalnya saudara, kerabat, keluarga Menteri BUMN ada dalam satu perkara yang sedang diteliti KPK, entah itu berada di tingkat pengumpulan bahan dan keterangan, penyelidikan, penyidikan, atau persidangan? Konflik kepentingan sangat kental potensinya. BUMN semacam Telkom tentu akan dengan senang hati dan tangan terbuka menerima eks pegawai KPK itu sebagai karyawannya. Mereka bisa 'diskusi internal' kasus-kasus telekomunikasi yang sedang digarap KPK.
Lagi pula, orang KPK pindah ke BUMN itu bukan sekali ini terjadi. Belum lama ini, bahkan ada ketua satgas penyelidikan perkara korupsi di salah satu BUMN gas yang terjadi pada 2014 (diduga merugikan negara Rp1 triliun), pindah kapal ke BUMN gas itu dan menjadi DIREKTUR KEUANGAN (coba tawari 57 pegawai KPK itu minimal jadi direksi BUMN juga).
Bekas Dirut BUMN gas (ketika transaksi terjadi) yang diduga bermasalah itu promosi menjadi Dirut BUMN semen. SEKARANG, si ketua satgas itu sudah berhenti per 2021 dari posisi Direktur Keuangan BUMN gas dan promosi jabatan baru sebagai KOMISARIS anak perusahaan gas yang JUSTRU menjadi lawan transaksi dalam perkara korupsi yang sedang diteliti KPK itu.
Kasus korupsinya berkaitan dengan proyek pembangkit listrik di Jawa Tengah. Inti materinya soal investasi saham. Transaksinya antara anak perusahaan BUMN gas itu dengan perusahaan cangkang di Singapura (inisialnya SR). Siapa di balik perusahaan cangkang itu, orang KPK sudah tahu sebenarnya. Jika diungkapkan ke publik, bisa bubar cerita-cerita IPO start-up yang lagi ramai belakangan ini, termasuk rumor-rumor di bursa akan gonjang-ganjing karena ia salah satu bandar.
Jokowi mana peduli duit negara hilang banyak gara-gara soal beginian. Menggaji, memberikan fasilitas dan tantiem kepada para 'aktor intelektual' yang mengakali duit negara. Buang-buang waktu dan uang.
Yang kita tahu Jokowi hanya makin luwes mengumumkan perpanjangan PPKM. Hal mana seperti kaset lawas diulang-ulang karena kita tahu cycling-nya; warna masker dan batik yang dikenakan saat mengumumkan rasanya masuk akal untuk sekadar dijadikan bahan taruhan bandar-bandar judi online.
Salam Kehancuran.
(Agustinus Edy Kristianto)