Asosiasi Warteg bertemu Jokowi, minta pemutihan BI checking. Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni berkata warteg-warteg terlilit kredit macet imbas pandemi. Mereka juga sulit mengakses modal bank. (Tribun News, 16/9/2021).
Mereka minta tiga hal: 1) akses modal dengan bunga terjangkau; 2) pemutihan BI checking dan bunga tertunggak; 3) peniadaan cicilan pinjaman bagi UMKM dan sektor informal selama 1 tahun ke depan baik itu di leasing maupun bank.
Rasanya, bukan hanya warteg yang menghadapi masalah itu. Kalangan non-pejabat dan non-penerima BLBI kemungkinan besar terlilit persoalan serupa.
Realistis saja. Lihat kenyataan di lapangan. Bank adalah bisnis yang melayani kepentingan orang (sudah) kaya. Bank bukan yayasan yang menebar kebaikan. Jika disuruh memilih membiayai kalangan kaya atau UMKM, 'wajar' dia pilih yang kaya. Contoh BLBI. Bank punya dia sendiri, salurkan ke grup usaha sendiri, ketika kolaps merengek ke negara. Sudah sehat, masuk lagi pakai proxy. Sampai sekarang.
Selama pandemi, bank tetap untung. Berdasarkan asesmen Bank Indonesia, selama Maret-Mei 2021, harga pokok dana untuk kredit (HPDK) turun 14 bps dari 3,28% menjadi 3,14% yang dipicu penurunan suku bunga deposito 1 bulan sebesar 20 bps. Harusnya HPDK turun, suku bunga dasar kredit (SBDK) juga turun. Tapi ternyata perbankan masih berusaha cari untung sebesar-besarnya di tengah pandemi. Margin keuntungan ternyata naik 8 bps dari 2,43% menjadi 2,51%. Biaya operasional (overhead cost) juga naik 3 bps, padahal pada WFH.
Bank-bank BUMN yang paling besar menaikkan margin keuntungan selama Maret-Mei 2021 yakni 10 bps. (Kompas, 4 Agustus 2021).
Lembaga pengawas seperti OJK? Susah bergerak. Bagaimana mau progresif jika mereka juga diguyur insentif. Apa itu?
Tak banyak diketahui oleh masyarakat, selama ini terdapat fasilitas kredit konsumtif khusus bagi pegawai OJK yang bunga pinjamannya sangat rendah, jauh di bawah suku bunga yang diberlakukan bagi masyarakat umum, bahkan dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sekali pun: 1,25% per tahun. 0,1%/bulan.
Saya punya dokumen Salinan Surat Edaran Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/SEDK.02/2016 tentang Fasilitas Pinjaman Multiguna Bagi Pegawai Otoritas Jasa Keuangan (termasuk lampiran-lampiran), ditandatangani di Jakarta pada 17 Mei 2016 oleh Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto.
Bunga Kredit Konsumtif Kepegawaian OJK—demikian sebutannya—diperhitungkan sebagai berikut:
- Suku Bunga Multiguna OJK sebesar 6,79%;
- Suku Bunga dibayar Pegawai OJK sebesar 1,25%.
Pada Bagian III Pinjaman Multiguna poin 9 Surat Edaran tersebut di atas disebutkan: “Dalam hal terdapat selisih antara Bunga Pinjaman dengan Suku Bunga, maka selisihnya menjadi beban Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk Subsidi Bunga.”
Apa tujuan pemberian fasilitas Pinjaman Multiguna itu?
- Meningkatkan loyalitas pegawai terhadap Otoritas Jasa Keuangan;
- Memotivasi dan memberikan ketenangan bekerja bagi pegawai; dan
- Membantu pegawai dalam memenuhi kebutuhan jangka panjang dan kebutuhan mendesak lainnya.
Berapa plafonnya? Rumus yang digunakan adalah: PM = (GP-TJ) x SMD x IP. (PM adalah Pinjaman Multiguna. GP: Gaji Pokok. TJ: Tunjangan Jabatan. SMD: Sisa Masa Dinas. IP: Indeks Pinjaman).
Pajak dan biaya asuransi atau jaminan kredit yang timbul atas pemberian Subsidi Bunga atau Pinjaman Multiguna kepada pegawai menjadi beban OJK. Biaya lainnya yang meliputi antara lain provisi, biaya meterai, dan biaya lainnya yang timbul atas pemberian Subsidi Bunga atau Pinjaman Multiguna menjadi beban pegawai.
Itu baru untuk pegawai, terbayangkah fasilitas untuk komisioner?
Saya pernah bicarakan ini dengan kawan praktisi perbankan. Dia tertawa. Orang BI dulu juga begitu. Malah ada yang 0%. Kata dia.
Jokowi mau ambil kredit citra dengan menggelorakan KUR. Dia angkat pula Teten Masduki sebagai Menteri Koperasi dan UMKM. Dia pikir ini perpaduan gerakan antikorupsi dan menggelorakan koperasi/UMKM sebagai sokoguru perekonomian.
Ini lelucon paling tidak lucu dari pemerintahan sekarang. Faktanya tidak demikian. Satu-satunya yang pasti mereka adalah pemerintah dan negara membayar gaji, fasilitas, serta tunjangan mereka. Becus atau tidak becus, tetap dibayar. Sementara rakyat cari sendiri di jalanan. UMKM begitu-begitu saja. Kekal dalam kesulitan.
BUMN sama saja. Lihat di atas, bank-bank BUMN ternyata yang paling besar menaikkan margin keuntungan. Apa ini yang disebut berakhlak seperti kecapnya Menteri BUMN Erick Thohir?
Soal kecap dan tidak tahu malu, rasanya kita tahu siapa juaranya di Indonesia.
Bagaimana bisa si menteri berkata swasta jangan tipu BUMN, bisnis harus saling menguntungkan (Kumparan, 16/9/2021). "Saya enggak mau ada oknum di BUMN yang mana sering terjadi korupsi karena project base, bukan bisnis proses yang baik. Saya juga minta swasta yang berpartner ke BUMN jangan ngakali, harus win-win solution," katanya.
Kaca mana kaca!
Kakaknya adalah pengurus Gojek (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa) sebagai komisaris, di mana Gojek disuntik Rp6,4 triliun oleh BUMN Telkomsel.
Kakaknya adalah komisaris PT Panca Amara Utama (PAU) yang bersengketa dengan anak usaha Pupuk Indonesia, Rekind, yang diduga berkaitan dengan duit triliunan rupiah. Sementara salah satu sumber pemasukan pupuk adalah subsidi langsung APBN.
Sengketa diselesaikan dengan perjanjian tertentu setelah adiknya menjabat. Mungkin dengan prinsip sama-sama enak. Tanpa kita bicara dugaan unsur pidana, dengan relasi bisnis semacam itu pun anak SMP sudah mengerti tentang potensi benturan kepentingan.
Sistem perekonomian kita jelas tidaklah adil. Yang kaya makin kaya, bahkan selama pandemi, itu nyata. Pejabat bertambah kekayaannya, itu nyata. Nepotisme di pemerintahan dan BUMN, itu nyata.
Perlu ada cara baru untuk 'menggugat'. Warteg dan kalangan lain yang kesulitan finansial saat ini, mungkin sebaiknya berkumpul di depan rumah pejabat/swasta/BUMN yang selama ini diuntungkan oleh sistem keuangan. Minta langsung ke mereka, termasuk ke para wakil rakyat. Kita sudah diberi tahu berapa cashflow mereka oleh Krisdayanti beberapa hari lalu.
Ke Jokowi tidak bisa berharap banyak. Menurut saya, dia mulai berada pada tahap halusinasi. Misalnya, beberapa hari lalu, berkata untuk meniru Menkes Budi Gunadi Sadikin yang sukses berkarier di luar ilmu fisika nuklir yang dipelajari selama kuliah.
Masalahnya satu, siapa yang bilang Menkes sukses? Menjadi pejabat dan berkualitas sukses adalah dua hal yang berbeda.
Mungkin, sekarang, yang minimal kita bisa adalah melakukan doa massal supaya yang bersangkutan bosan menjadi presiden. Sebab menurunkan bisa dituding makar, bahkan mendesaknya turun sama saja dengan berteriak kepada batu.
Masalah rakyat lebih besar dari sekadar bansos atau KUR. Ini masalah sistem. Jauh lebih besar dari sekadar mengelus anaknya yang sekarang wali kota Solo untuk naik tingkat sebagai gubernur DKI meniru bapaknya. Juga jangan mudah tergoda seorang menteri bekas cawapres yang mulai menebarkan pesona dengan berkata dia adalah capres pilihan emak-emak.
Sekarang setidaknya kita paham masalahnya. Mengutip Erick Thohir, kita minta supaya para pejabat jangan tipu masyarakat.
Salam Tipu-Tipu.
(Agustinus Edy Kristianto)