Saya Pengin Kembalikan Izin Masjid At Tabayyun Ke Gubernur
Catatan: Ilham Bintang (Jurnalis Senior)
Sesaat setelah menerima kabar Panitia Masjid At Tabayyun menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI, jamaah masjid itu langsung sujud syukur, Senin (30/8/2021) siang. Sujud di Tenda Arafah -- julukan Tenda Masjid -- di Komplek Taman Villa Meruya, Jakarta Barat.
Tidak terbatas bersyukur karena memenangkan lahan seluas 1078m2 yang menjadi sengketa di PTUN. Tapi bersyukur, berhasil menguji kebenaran yang diyakini sejak semula di di depan hukum. Bersyukur merasakan keadilan lewat putusan PTUN.
Bersyukur dan bahagia karena membuktikan kebenaran jamaah dan juga Gubernur DKI yang memberi izin menempati lahan untuk pembangunan masjid. Proses hukum itu membuktikan mayoritas tidak selalu digdaya di atas minoritas.
Masjid At Tabayyun bersejarah karena didirikan di komplek perumahan mayoritas non Muslim. Semoga hal yang semestinya itu menjadi jurisprudensi bagi pembangunan rumah ibadah -- agama apapun dan di mana pun di Tanah Air.
Sujud syukur diinisiasi Marah Sakti Siregar, Ketua Panitia Pembangunan Masjid At Tabayyun. Tampak hadir siang itu para sesepuh warga yang dijuluki "Walisongo" nya At Tabayyun. Yaitu: Erlangga, Ending Ridwan, Andre Suyatman, Apang Taufik, Budi Harto, antara lain. Yang selama ini "memakmurkan" Tenda Masjid. Juga ibu-ibu yang menyediakan logistik mendukung perjuangan suami mereka bangun masjid.
"Rasanya plong, seperti lepas dari mimpi buruk," ucap Marah Sakti Siregar, Senin petang.
Seumur hidup ia mengaku baru pertama kali merasakan suasana mencekam menghadapi Ketua-Ketua RT komplek TVM yang menolak pembangunan tapi dibungkus dengan pelbagai dalih. Ia tercengang Para Ketua RT yang menggugat begitu bebas nilai: tercerabut dari sistem nilai masyarakat Indonesia.
Luar biasa mereka menggunakan kekuasaannya yang melampaui batas kewenangan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) RT yang diatur oleh SK Mendagri no 6/2018. Lebih khusus lagi Pergub 171/2016. Yang menyedihkan perangkat Pemprov DKI tingkat Kecamatan maupun kelurahan seperti lepas kontrol mengawasi komplek ini.
Ketua RT yang dulu dikenal dalam masyarakat tradisional elemen utama kerukunan warga, dipraktikkan sebaliknya. Marah Sakti terpana para Ketua RT itu yang justru memprovokasi warga untuk menentang keputusan pemerintah daerah. Berbagai cara mereka lakukan, memprovokasi warga untuk menyabot kegiatan masjid dengan memasang poster yang menghasut, bahkan di WAG-Warga, penuh dengan intimidasi kepada warganya disertai ujaran kebencian (istilah kadrun dll).
Jamaah seperti makhluk asing di negeri sendiri. Rasanya, hanya di komplek ini Ketua RT -- yang merupakan lembaga kemasyarakatan yang juga perangkat Pemprov-- tapi terang-terangan menentang keputusan gubernurnya.
Hari itu, Marah dan kawan-kawan sudah meriung di tenda sejak pukul 10.00 WIB. Menantikan putusan Majelis Hakim PTUN yang sedianya disampaikan pukul 11 siang via e-court. Namun, molor hingga pukul 13.15 -- pas Muhammad Fayyadh meneruskan putusan PTUN ke mereka. Fayyadh adalah kuasa hukum Masjid At Tabayyun dari Firma Hukum Fayyadh & Partners. Bersama Mindo Simamora dari Biro Hukum DKI -- dua anak muda itu berhasil mengalahkan argumentasi hukum DR Hartono, SH, Kuasa Hukum Penggugat.
Dalam amar putusan Majelis Hakim PTUN yang diketuai Andi Ali Rahman dengan anggota Danan Priambada dan Indah Mayasari menolak gugatan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan terkait izin pembangunan Masjid At Tabayyun. Persidangan perkara ini di PTUN termasuk cepat rampung. Dimulai April berakhir 30 Agustus. Namun, suasana mencekam itu hampir tiga tahun mereka rasakan.
Inisiatif sebagian warga Muslim membangun masjid muncul sejak 2018. Sudah 30 tahun komplek perumahan itu berdiri, namun pengembang tidak kunjung mewujudkan kewajibannya membangun masjid. Atas dasar itulah permohonan diajukan kepada Gubernur. Izin prinsip Gubernur DKI terbit 2019. Sosialisasi kepada warga secara resmi dilakukan tanggal 3 November 2019.
Ada penentangan pada pilihan panitia masjid untuk memanfaatkan lahan fasos Pemprov DKI. Yang menolak, menganggap itu Ruang Hijau Terbuka. Tidak boleh ada bangunan di atasnya. Tapi dalam kenyataan ada bangunan RW di lahan itu tanpa izin tanpa IMB tapi dianggap wajar.
Akhirnya, Ketua RW Irjenpol DR Burhanuddin Andi yang memimpin rapat musyawarah Panitia Masjid At Tabayyun, dengan 10 Ketua RT di TVM mengambil jalan tengah. Dua belah pihak dipersilahkan mengurus izin lokasi masing-masing yang dianggap cocok untuk lokasi masjid. Kesepakatannya : siapa yang mendapat izin lebih dulu dari Pemprov DKI, maka pihak lain akan ikhlas dan legowo menerima.
Marah menceritakan mayoritas RT menginginkan lokasi 312 m2 di dekat St John. Mereka berjanji akan mengajukan tambahan lahan 1.000 m2.
Panitia Masjid memilih lokasi di tempat sekarang yang seluas 1078 m2. Rapat itu ada absensinya, notulennya, dan dokumentasi foto-foto pada waktu itu. Komitmen itulah yang pertama kali dikhianati.
"Mereka tidak memproses izin seperti yang dijanjikan. Belakangan kita ketahui, yang dilakukan sibuk mengirim surat ke berbagai instansi mencegat kami. Lalu mengeluh, suratnya tidak ada yang merespons. Begitu tahu kami dapat izin dan rekomendasi dari instansi yang sama mereka surati, langsung kalap. Bukannya konsisten pada kesepakatan 3 November 2019, tahu-tahu layangkan gugatan ke PTUN. Ya, apa boleh buat, kita harus terima kenyataan itu dengan mengikuti proses hukum," Marah Sakti menceritakan.
Saya mengetahui persis rangkaian peristiwa seperti yang dipaparkan Marah Sakti. Sebagai Ketua Pembina Yayasan Masjid At Tabayyun, saya ikut merasakan luka hati mereka. Luka yang sudah berdarah-darah. Akibat pengingkaran kesepakatan tanggal November 2019 oleh para ketua RT yang mengugat SK Gub DKI.
Luka, akibat somasi arogan Kuasa Hukum Hartono pada awal Ramadhan atau pada pertengahan April 2021 yang mengultimatum Panitia Masjid agar membongkar tenda ibadah mereka di areal masjid. Padahal areal itu sudah mendapat izin Pemrov dan membayar sewa.
Luka akibat seruan para ketua RT kepada warganya untuk memasang spanduk di rumah mereka untuk menyindir-nyindir Panitia Masjid At Tabayyun. Seakan-akan warga Muslim dan Panitia Masjid itu tidak faham aturan mendirikan rumah ibadah dan mengabaikan fungsi lahan hijau. Semua itu luka sosial. Secara sosiologis diperlukan obat untuk memulihkannya.
Terlintas di pikiran saya. Andaikata ada yang hal yang bisa mengobati semua luka itu dan menegakkan kembali marwah kehormatan, kerukunan warga seperti sebelumnya, saya akan meminta Panitia mengembalikan izin masjid kepada Gubernur DKI.
Sebab, esensi keberadaan masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah. Melainkan terutama untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat sekitarnya. Menciptakan persatuan, kedamaian, dan ketentraman hidup. Sebagaimana tujuan Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin. Artinya, Islam secara bahasa berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Sedangkan, secara agama, Islam adalah manifestasi dari damai itu sendiri. Ada yang bisa?
(Sumber: ROL)