ZAMAN sudah serba digital. Tapi biaya komunikasi masih saja mahal. Setidaknya itu terungkap dari rapat dengar pendapat DPR dengan Menteri Agama tentang kegiatan informasi pembatalan jamaah haji 2021.
Kabar pembatalannya sendiri sudah lama. Hampir tiga bulan lalu. Tapi besarnya dana untuk mengumumkan pembatalan itu yang baru terungkap: Rp 21,7 miliar. Sontak anggota DPR pun berang.
Saya tidak tahu bagaimana struktur harga atau biaya pengumuman pembatalan itu. Yang terbayang di pikiran saya adalah memasang banner pengumuman pembatalan di website Kementerian Agama, mengirim surat elektronik kepada calon jamaah haji melalui email blast dan Whatsapp blast. Terakhir membuat press conference dan melayani permintaan stasiun televisi dan YouTuber untuk program wawancara.
Kalau kegiatannya hanya seperti itu, maulah saya dibayar Rp 21,7 miliar. Bahkan tidak perlu sebanyak itu. Sepuluh persen nya saja, saya mau. Tidak pakai nawar!
Mungkin saja yang dikerjakan tidak hanya itu. Untuk menghadapi masa penyelenggaraan haji, banyak pihak yang harus dikontrak. Yang dikontrak pun mulai mempersiapkan diri. Membuat kontrak dengan vendor masing-masing.
Mungkin klausul perjanjiannya begitu: Berlaku cancelation fee apabila kontrak tidak bisa dijalankan karena sebab apa pun. Termasuk gagal memperoleh kuota haji.
Mengelola perjalanan haji itu mirip event organizer yang menyelenggarakan acara. Jauh-jauh hari harus menghubungi banyak vendor untuk nge-tag alat dan crew.
Saya pun memperlakukan cancelation fee kalau pembatalan dilakukan klien kurang dari 2 hari. Sebab pada saat itu, saya sudah bayar down payment kepada para vendor. Uang muka itu diperjanjikan hangus kalau kontrak dibatalkan dengan alasan apa pun.
Memang ada vendor yang baik hati. Mereka mau menerima alasan pembatalan. DP-nya tidak hilang. Bisa dikompensasi untuk event lain pada waktu yang berbeda. Tapi ada juga yang tidak mau mengerti.
Apakah uang Rp 21,6 miliar juga termasuk untuk cancelation fee? Saya tidak tahu. Struktur biayanya abu-abu.
(Oleh: Joko Intarto)