[PORTAL-ISLAM.ID] Kisah p3mba*taian di Pabrik Gula Rejosari Gorang-Gareng Magetan tidak bisa dilepaskan dari kisah p3mba*taian Sumur Soco. Dua kejadian ini saling berkaitan. Keduanya sama-sama dilakukan oleh PKI di tahun 1948.
Saat itu warga Magetan Jawa Timur dihantui teror. Perilaku orang-orang komunis semakin menjadi. Entah apa yang merasuki jiwa mereka. Karena mereka laksana setan berwujud manusia.
Semuanya berawal dari sebuah undangan rapat. Saat itu para pemuka agama dan pemuka pemerintahan Magetan mendapat undangan rapat yang mengatasnamakan Bupati Magetan. Undangan itu bertempat di Kabupaten.
Sebagai seorang warga negara yang baik, Kyai Soelaiman memenuhi undangan tersebut dengan patuh. Meskipun hatinya merasa gundah, merasa ada sesuatu yang aneh, tapi Kyai Soelaiman tetap hadir.
Kyai Soelaiman merupakan pengasuh Ponpes Ath-Thohirin di desa Mojopurno Magetan. Ia mendatangi undangan tersebut bersama dua ratus tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya.
Sesampainya di Kabupaten, ia mendapati ratusan orang lainnya sudah datang dan terlihat kebingungan. Para tamu undangan itu terlihat cemas. Ia pun bertanya-tanya, ada apa gerangan.
Dan ia segera menemukan jawabnya ketika melihat para aktifis FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang merupakan tentara PKI sedang menodongkan senjatanya. Kyai Soelaiman langsung tersadar bahwa undangan ini hanyalah jebakan PKI.
Ketika semua tamu undangan sudah hadir. Tentara FDR menggiring para tamu yang sudah menjadi tawanannya ke pabrik gula Rejosari Gorang-Gareng Magetan. Mereka dikumpulkan di loji atau gedung pabrik gula itu.
Ada dua rombongan besar di pabrik gula itu. Satu rombongan dimasukan dalam gudang. Kemudian gudang itu ditutup. Tentara FDR membuka sebuah jendela dan memberondong semua orang dalam gudang. Banjir darah di gudang itu menghantui rombongan satunya.
Kyai Soelaiman termasuk dalam rombongan yang tidak dimasukan dalam gudang. Ia beserta ratusan orang lainnya disuruh naik gerbong kereta Kertapati. Ia bersama ratusan ulama dan santri dibawa ke sebuah sumur di daerah Soco.
Ia yang sudah melihat p3mba*taian di Pabrik Gula Rejosari Gorang-Gareng Magetan, sudah faham bahwa nyawanya di ujung tanduk. Bahwa semua yang ada dalam gerbong kereta ini pastilah akan diba*tai. Entah p3mba*taian jenis apa yang akan mereka hadapi.
Sesampainya di Desa Soco, para tawanan itu disuruh turun. Ternyata disana sudah menanti dua lubang besar. Dua lubang yang akan dijadikan kuburan massal.
Rombongan itu disuruh turun dari kereta. Mereka dibagi dua kelompok. Didekatkan ke masing-masing lubang.
Para algojo PKI menyuruh para tawanan untuk masuk ke dalam lubang. Jika melawan maka senjata tajam mereka bertindak. Para tawanan tak punya pilihan lain. Mereka memasuki lubang kematian itu dengan patuh, termasuk Kyai Soelaiman.
Begitu para tawanan sudah menempatkan dirinya dalam kedua lubang besar itu, para algojo PKI memulai pestanya. Mereka memb*nuh tawanan itu dengan s*dis. Sebuah perilaku yang tak terpikirkan oleh manusia waras yang berhati nurani.
Para algojo itu mengubur hidup-hidup dua ratus tawanan. Mereka melemparkan batu ke dalam sumur hingga sumur itu tertutup. Sepanjang prosesi penguburan hidup-hidup, jeritan para ulama dan santri terdengar menyayat hati.
Terdengar suara dzikir tiada henti dari sumur itu. Bahkan dzikir itu tetap terdengar dari dalam sumur hingga 7 hari lamanya. Entah siapa yang berdzikir dari dalam sumur Soco itu. Mungkinkah malaikat? Bisa jadi begitu...
Hingga saat ini kedua sumur Soco ini masih ada. Bahkan kereta Kertapati yang mengangkut para tawanan juga masih ada. Sebuah pengingat bagi kita semua. Bahwa dulu di tahun 1948 telah syahid 200 ulama dan santri di sumur tua ini. Nama mereka diabadikan dalam sebuah monument di samping sumur.
Kyai Soelaiman bersama para sahabat surganya menjadi korban kekejian PKI. Ia menghembuskan nafas terakhir dalam kegelapan sumur Soco. Semoga penyiksaan yang mereka alami menjadi sebab dinaikan derajat mereka menjadi syuhada yang berjuang membela agamaNya... gugur sebagai syuhada dalam membela agama adalah sebaik-baik kematian...
Selamat jalan para syuhada... kematianmu menjadi pengingat bagi kami bahwa PKI tidak layak hidup di negri ini.
(Oleh: Widi Astuti)