Pangkostrad Itu Harusnya Membasmi Komunisme
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
PERISTIWA G 30 S yang didalangi PKI dengan memfitnah TNI dan mencoba untuk menggulingkan kekuasaan yang sah ternyata gagal. Pasukan elit pengawal Presiden Tjakrabirawa dikendalikan PKI untuk menculik dan membunuh para Jenderal. Pasukan ini menjadi garda terdepan dalam upaya kudeta.
Kegagalan ini banyak disebabkan oleh kesigapan TNI untuk segera melakukan pengamanan. Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin operasi dan sukses menumpas pemberontakan. Dengan Supersemar 1966 Letjen Soeharto melakukan langkah lebih strategis seperti pembubaran PKI dan penangkapan mereka yang terlibat G 30 S PKI termasuk para Menteri.
Setelah menjadi Presiden Jenderal Soeharto mantan Pangkostrad ini tetap konsisten untuk terus menumpas dan mewaspadai munculnya gerakan PKI yang telah berubah menjadi organisasi tanpa bentuk. Skrining ketat dilakukan untuk jabatan-jabatan birokrasi. Termasuk untuk menjadi anggota DPR/DPRD. Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 menjadi acuan pembersihan.
Peristiwa bersejarah sebagai awal dari penumpasan PKI itu tergambar dalam diorama di Museum Dharma Bhakti Makostrad. Pangkostrad Mayjen Soeharto menerima laporan dari Dan Resimen Parako AD (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Di dekatnya duduk Jenderal AH Nasution yang baru selamat dari upaya pembunuhan PKI.
Menurut mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo, diorama di Museum tersebut kini anehnya hilang atau dihilangkan. Gatot mencurigai adanya indikasi penyusupan anasir PKI di TNI sehingga monumen penting itu kini tiada. Menurutnya kewaspadaan atas kebangkitan PKI perlu ditingkatkan.
Kini Pangkostrad adalah Letjen Dudung Abdurrahman mantan Pangdam Jaya. Diorama itu hilang saat Kostrad di bawah kepemimpinannya. Tidak terdengar amanat atau pernyataan dari Pangkostrad ini akan pentingnya kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI. Yang muncul justru nyinyirnya pada radikalisme gerakan keagamaan. Statemen bahwa semua agama benar dalam pandangan Tuhan dikritik para ulama termasuk MUI.
Dudung ini kontroversial sebagai Komandan TNI bukan berjasa menumpas PKI tetapi justru FPI. Mengambil alih komando penurunan baliho HRS di Petamburan. Mendampingi Kapolda Metro Fadil Imran pada konperensi pers 7 Desember 2020 sambil menggenggam samurai alat bukti bodong fitnah 6 syuhada pengawal HRS.
Pangkostrad Dudung Abdurrahman perlu diminta keterangan tentang mobil Land Cruiser hitam di Km 50 yang terindikasi menjadi komandan dari penyiksaan dan pembunuhan keenam anggora Laskar FPI yang dikualifikasikan sebagai “unlawful killing” atau “crime against humanity”.
Pangkostrad semestinya belajar dari sejarah tentang konsistensi pemberantasan komunis. Bukan justru terus menerus menohok umat Islam dengan bahasa fanatisme, intoleran, atau radikal. Pembunuhan oleh aparat terhadap warga sipil umat Islam harus dibongkar oleh jajaran Kostrad. Jangan biarkan komunis menyusup pada aparat atau komandan komandannya.
Penghilangan diorama Pangkostrad Mayjen Soeharto saat menerima laporan dari Dan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi atas pembasmian anasir PKI sungguh memprihatinkan. Ada misteri dari menghilangnya diorama itu dan harus diusut tuntas termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Aspek pribadi, tekanan politik atau ideologi?
Akankah muncul diorama baru dimana Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrahman sedang menerima laporan dari Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrahman atas pembunuhan enam laskar FPI, penurunan baliho HRS, penangkapan HRS, Shobri Lubis, Munarman, dan lainnya?
Bagus juga rasanya. Asal tidak terbalik saja bahwa dahulu PKI yang ditumpas oleh TNI, kini justru FPI yang ditumpas oleh PKI. Pangkostrad harus mampu menjelaskan agar umat Islam tidak menjadi bulan-bulanan atau korban dari balas dendam PKI.
Apakah Pangkostrad Dudung masih pro NKRI dan tidak pro PKI? Rakyat tengah menunggu bukti.
(Sumber: FNN)