SUDAH empat bulan lebih ia menjadi tahanan kepolisian dengan dugaan keterlibatan tindak pidana terorisme. Sebuah tuduhan yang penuh misteri dan rekayasa. Sebab, hanya dikaitkan dengan kehadirannya dan menyampaikan materi dalam pertemuan di Makassar, Sulawesi Selatan dan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di Cuputat, Kota Tangerang Selatan, Banten
Penangkapannya pun dianggap tidak manusiawi. Ia ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri pada Selasa, 27 April 2021 di kediamannya, Klaster Lembah Pinus Modern Hill, Blok G-5/8 RT 01/RW 13, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Bayangkan, permintaannya memakai sandal saja tidak dibolehkan. Bahkan, ketika ia mengatakan penangkapan tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku, terdengar suara bentakan sebagai jawabannya.
Berdasarkan video yang beredar, ia terlihat tampak tenang menghadapi pasukan antiteror dalam jumlah lumayan banyak dengan senjata lengkap. Ditambah lagi dengan aparat keamanan yang tidak menggunakan pakaian dinas.
“Munarman ditangkap!” Demikian kalimat yang beredar di WhatsApp (WA) grup saat menjelang berbuka puasa waktu itu. Harap maklum, waktu penangkapannya bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1442 Hijriyah.
Dengan mata ditutup dan tangan diborgol, pengacara Habib Rizieq Shihab itu dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Memakai kain sarung dan kemeja koko putih, Munarman terlihat tetap tenang.
Ya, itulah yang dialami Munarman, SH. Sang pengacara, aktivis demokrasi dan hak azasi manusia. Sederet profesi di bidang pembelaan disandangnya.
Kariernya dimulai ketika bergabung dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Palembang, kemudian menjadi Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) di Aceh. Puncak kariernya ketika tanggal 25 September 2002 terpilih menjadi Ketua YLBHI dan diembannya sampai 2006.
Jika melihat sepak-terjangnya, pantas ia selalu bersinggungan dan berhadapan dengan aparat keamanan, baik dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia – yang merupakan gabungan tentara dan polisi di masa orde baru) maupun dengan aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) di masa reformasi. Bahkan, bisa dikatakan Munarman adalah “musuh” bebuyutan polisi dan jaksa.
‘Musuh’ utamanya adalah polisi. Ia selalu menjadi target polisi, terutama setelah bergabung dengan FPI yang senantiasa mengkritik pemerintah. Selalu dianggap berseberangan dengan penguasa, sehingga ia harus ‘dihabisi.”
Perlakuan dan penangkapan terhadap mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam itu dinilai tidak adil. Juga terkesan dipaksakan karena diduga ada kaitan dengan pembelaannya terhadap pembantaian enam laskar FPI yang mengawal iringan HRS dan keluarga di KM-50 Jln Tol Jakarta-Cikampek. Juga, karena pembelaannya dalam persidangan HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang sempat membentak jaksa penuntut umum.
Anda bisa bandingkan antara perlakuan yang diterapkan kepada Munarman dengan dua orang anggota polisi yang membunuh laskar tersebut. Ibarat kata pepatah, “Antara bumi dan langit.” Munarman ditangkap dan ditahan dengan tuduhan teroris, sedangkan dua polisi, Briptu FR, dan Ipda MYO yang dituduh membunuh dijerat dengan dua pasal, tidak ditahan. Tidak ditahan, baik saat penyelidikan dan penyidikan di Polda Metro Jaya maupun saat berkas dan tersangkanya dilimpahkan ke kejaksaan. Malah, keduanya masih aktif sebagai polisi. Inilah yang namanya, “Hukum tajam ke oposisi, tetapi tumpul ke polisi.”
Padahal, dua anggota polisi itu dikenakan pasal yang hukuman maksimalnya cukup berat. Pertama, Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai tuduhan primer. Pasal tersebut, terkait dengan ancaman 15 tahun penjara bagi pelaku perampasan nyawa orang lain, atau pembunuhan. Kemudian, dalam rencana dakwaan subsider, jaksa penuntut umum (JPU) memakai sangkaan Pasal 351 ayat (3) juncto, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sangkaan tersebut, terkait dengan penganiayaan yang menyebabkan kematian, dengan ancaman tujuh tahun penjara.
Melihat ketimpangan dalam penegakan keadilan itu, maka wajar sejumlah aktivis, pengacara, ulama, habaib dan tokoh masyarakat menyuarakan agar Munarman segera dibebaskan dari penjara. Tuntutan yang sama juga sudah beberapa kali disampaikan terhadap HRS dan kawan-kawan.
Rabu, 1 September 2021, tuntutan agar Munarman dibebaskan disuarakan oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai Sahabat Munarman. Bertempat di Masjid Baiturrahman, Jln Sahardjo, Tebet, Jakarta Selatan, mereka mengeluarkan tiga pernyataan sikap.
Pertama, mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi dan terorisasi beserta fitnah terhadap sahabat kami saudara Munarman. Kedua, mendesak agar kriminalisasi, terorisasi serta fitnah terhadap saudara Munarman segera dihentikan dan membebaskannya dari tahanan. Ketiga, hentikan segala bentuk kriminalisasi dan terorisasi terhadap ajaran agama mana pun maupun pemuka agama apa pun di Indonesia.
“Rakyat perlu mengetahui, fitnah berupa tuduhan Munarman menggerakkan orang atau bermufakat jahat atau memberikan bantuan atau menyembunyikan informasi adalah fitnah keji terhadap yang bersangkutan,” kata Juju Purwanto, pengacara Munarman.
Contoh kehadiran Munarman di acara seminar di Makassar, Sulawesi Selatan. Munarman tidak melakukan pembaiatan anggota ISIS (Islamic State of Iraq and Syria– Negara Islam Irak dan Suriah) dalam acara seminar tersebut.
Munarman hadir sebagai narasumber yang substansi materinya adalah tentang kontra terorisme. “Adanya agenda baiat ISIS tidak diketahui Munarman. Sehingga saat berlangsung secara mendadak pun ia tidak ikut membaiat, tidak mendukung, menyuruh, atau memfasilitasi,” ujarnya.
“Sungguh tidak masuk akal sehat dan sangat mustahil apabila saudara Munarman terlibat dalam gerakan terorisme,” ucap Juju.
Sedangkan Marwan Batubara mengatakan, penangkapan dan penahanan Munarman lebih menunjukkan kesewenang-wenangan dari pemerintah, dalam hal tersebut aparat polisi. Oleh karena itu, ia minta segera dibebaskan.
Marwan mengatakan, jika Presiden Joko Widodo bukan pemimpin yang hipokrit, “Ya buktikan, Pak Munarman, saudara kami itu, segera bebaskan.” Ia memprotes penangkapan Munarman, karena melanggar hukum.
“Jangan sembarang tangkap. Pak Jokowi bilang Pancasila, lalu dari Pancasila itu ada kejelasan tentang ini negara hukum. Akan tetapi, praktiknya justru sangat biadab gitu. Tidak beradab ya, memperlakukan saudara kami itu seolah-olah beliau itu bukan manusia ya,” kata Marwan, koordinator Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 Laskar FPI itu.
Marwan mengingatkan masih ada yang lebih berkuasa dari Jokowi dan jajarannya. “Itu keyakinan kami. Jika Anda (Jokowi) tidak melepaskan Munarman, kami berdo’a, semoga Allah nanti menjatuhkan hukumnya atau keputusannya yang terakhir dan lebih adil.”
(Sumber: Editorial FNN)