Transkrip percakapan jaksa Pinangki dengan pengacara Joko Tjandra menunjukkan peran seseorang yang disebut sebagai king maker.
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menduga king maker berperan sentral dalam kasus suap Joko Tjandra.
Percakapan mengindikasikan upaya membebaskan Joko Tjandra lewat fatwa Mahkamah Agung tak berjalan sebelum king maker mendapat jatah suap.
"King maker" disebut empat kali dalam percakapan antara jaksa Pinangki Sirna Malasari dan pengacara Anita Kolopaking. Dialog pada 2019-2020 tersebut merupakan bagian dari upaya suap pejabat agar terbit fatwa Mahkamah Agung untuk membebaskan Joko Tjandra, terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Transkrip percakapan di WhatsApp yang mencapai 67 halaman itu dibacakan oleh Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (20/9/2021) lalu.
MAKI menggugat KPK karena menghentikan penyidikan untuk mengungkap identitas "king maker" meski sudah ada bukti awal.
Boyamin Saiman, Koordinator MAKI, menilai "king maker" alias sang pengangkat raja berperan sentral dalam upaya suap ini. "Dugaan saya antara oknum penegak hukum atau oknum politikus," kata dia.
Jaksa Pinangki, 40 tahun, merupakan kepala subbagian di Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Dalam kasus ini, dia menjadi makelar kasus dengan mengajukan proposal rencana aksi pembebasan Joko Tjandra—yang buron sejak 2008 dan baru tertangkap pada Juli tahun lalu—dengan banderol US$ 1 juta, setara dengan Rp 140 miliar.
Untuk itu, Pinangki berdialog intensif dengan Anita Kolopaking, 58 tahun, selaku kuasa hukum Joko Tjandra. Mereka berkomunikasi menggunakan inisial dan istilah, misalnya JC untuk Joko Candra, DT untuk Djoko Tjandra, BR untuk Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, serta HA untuk Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung 2012-2017 dan 2017-2022.
Ada juga sebutan "bapak". "Bapak" dari Pinangki diduga mengacu pada Burhanuddin, sementara "bapak"-nya Anita adalah Hatta Ali. Nama keduanya masuk dalam dakwaan Pinangki, yang belakangan divonis 4 tahun penjara. Adapun baik Burhanuddin maupun Hatta Ali membantah jika disebut terlibat.
MAKI mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK pada 23 Agustus 2021. MAKI menggugat KPK karena menghentikan supervisi penyidikan untuk menemukan sosok kunci atau king maker dalam perkara suap pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung yang dilakukan jaksa Pinangki Sirna Malasari untuk terpidana korupsi hak tagih Bank Bali, Joko Tjandra.
MAKI menyertakan bukti percakapan antara Pinangki dan Anita Dewi Kolopaking, pengacara Joko Tjandra, dalam gugatan tersebut. Dalam percakapan, yang dibacakan saat sidang perdana dua hari lalu, terungkap beberapa pembicaraan antara Pinangki dan Anita yang mengarah pada identitas king maker.
Perkara ini ditangani oleh Kejaksaan Agung. Selama penyidikan, Kejaksaan sudah menetapkan empat tersangka. Keempatnya adalah Pinangki; Anita Dewi Kolopaking; Andi Irfan Jaya, kolega Pinangki; dan Joko Tjandra. Setelah mereka divonis bersalah, Kejaksaan Agung menganggap penyidikan perkara ini sudah tuntas, padahal identitas king maker belum terungkap.
Dalam pertimbangan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara Pinangki dan terdakwa lainnya, dinyatakan bahwa king maker merupakan aktor intelektualis dari Pinangki untuk membebaskan Joko Tjandra dari kasus korupsi hak tagih Bank Bali.
Majelis hakim juga menyatakan tidak mampu menggali siapa king maker tersebut, sehingga menjadi kewajiban KPK untuk menemukannya. "Pada 30 Juli 2020, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan telah menghentikan supervisi perkara tersebut," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman. Belakangan, kata dia, KPK menyudahi supervisi kasus Joko Tjandra ini.
Menurut Boyamin, tindakan KPK yang menghentikan supervisi perkara Joko Tjandra merupakan bentuk penelantaran perkara. Penghentian itu mengakibatkan penanganan kasus untuk membongkar identitas king maker perkara tersebut terhambat. Boyamin menganggap tindakan KPK sama dengan bentuk penghentian penyidikan perkara korupsi secara materiil, diam-diam, menggantung, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
(Sumber: Koran Tempo)