Saya baca Majalah Tempo edisi pekan ini, ada berita tentang megaproyek strategis andalan Jokowi: kilang olefin TPPI (Trans-Pasific Petrochemical Indotama), Tuban.
DEMAM SEHABIS HUJAN PROYEK. Teasernya: "Porsi PT Rekayasa Industri (Rekind) dalam konsorsium megaproyek kilang olefin TPPI dikabarkan tergerus. Akibat rapor merah kinerja keuangan."
Rekind adalah anak perusahaan BUMN Pupuk Indonesia. Untuk proyek itu, konsorsium terdiri dari Rekind dan Hyundai. 51% saham TPPI milik Pertamina. Nilai proyek itu Rp50 triliun.
Apa jenis barang yang diproduksi TPPI Olefin Complex, silakan Anda Googling jika ingin detail: High Density Polyethylene (HDPE), Low Density Polyethylene (LDPE), Polipropilena (PP).
Konon ada polemik dugaan kongkalingkong tender itu. Saya tidak ada informasi dan datanya.
Saya mau tulis apa yang tidak didalami Tempo. Pertanyaan sederhana: kenapa keuangan Rekind merah? Apa penyebabnya? Siapa yang diduga pelakunya?
Soal ini sudah saya tulis berkali-kali tapi menabrak angin. Beberapa menyebut data saya palsu. Tuduhan penuh kebencian. Jokowi tidak mau dengar, dsb. Sekarang, Tempo menulis itu.
Ini masalah sederhana, menurut saya, asalkan dua syarat dipenuhi: 1) Menteri BUMN-nya bukan Erick Thohir; 2) Presidennya bukan Jokowi (mungkin).
Saya duga kuat ada kecenderungan Jokowi 'melindungi' si menteri yang bekas ketua tim suksesnya itu.
Anda bisa baca status saya tanggal 30 Juni 2021. Tentang sengketa antara Rekind dan PT Panca Amara Utama (PAU).
Saya menulis: "Tapi lagi-lagi ada tembok. Menteri BUMN Erick Thohir (ET) dilantik 23 Oktober 2019. Sementara PAU dikendalikan ESSA (60%). Kakak Erick, Boy Thohir (BT), adalah Presiden Komisaris PAU. Boy juga pemegang 3,61% saham ESSA.
Jadinya lucu. Erick Thohir mewakili pemegang saham negara (di Pupuk Indonesia dan Rekind) dalam RUPS. Mengambil keputusan yang ada urusannya dengan perusahaan sang kakak. Bagaimana coba?"
Saya punya data keuangannya per Desember 2020. Masalahnya tidak rumit kalau politik tidak ikut campur.
Rapor merah kinerja keuangan itu artinya Rekind tidak punya duit. Modalnya negatif Rp2,2 triliun. Rp2,2 triliun itu jika pun terpenuhi baru untuk menutup cashflow (dari negatif jadi nol), belum bicara tentang modal kerja proyek-proyeknya.
Kenapa modal negatif, karena salah satunya ada impairment project periode 2018-2020 sebesar Rp1,735 triliun.
Terus ada masalah pajak Rp640-an miliar. Sementara per 30 Juni 2021, Rekind itu juga rugi Rp233 miliar.
Pusinglah dia cari-cari tambahan modal. Saya dengar minta ke Pertamina, PLN, dan Mind.id tapi tidak diberi.
Cari-cari pinjaman, dari Bank Mandiri ada Pinjaman Transaksi Khusus (PTK) US$41 juta.
Kalau perkara pajak kalah (putusan kemungkinan tahun ini), makin pusing dia.
Kalau cermat, lihat laporan keuangan Pupuk Indonesia 2020. RUPS menyetujui PENYAJIAN KEMBALI (restatement) Laporan Keuangan periode sebelumnya (2019). Laba 2019 sebesar Rp3,71 triliun di-restatement menjadi Rp2,99 triliun. Selisih Rp718-an miliar! Ada keterangan penghapusan (write-off) pekerjaan dalam penyelesaian kontrak konstruksi dari pelanggan yang tidak tertagih.
Apa yang tidak tertagih? Ya, proyek Rekind bersama kakak menteri itu.
Kenapa tidak tertagih? Karena ada kesepakatan Rekind dan PAU 12 Agustus 2020. Dibuatlah Perjanjian Penyelesaian Terhadap Supplemental Agreement (verifikasi biaya kontrak). Tidak ada proses hukum atas semua perselisihan yang berkaitan dengan proyek, kontrak EPC, arbitrase, dan laporan polisi. Uang Jaminan Pekerjaan yang dicairkan PAU pada 15 Mei 2019 sebesar US$56 juta dikembalikan pada 26 Oktober 2020. Tapi tidak uang retensi US$50 juta.
Jika dihitung total, impairment project PAU itu sendiri saja nilainya ditaksir Rp1,3 triliunan.
BPK sudah mengonfirmasi masalah sengketa dengan PAU ini dalam auditnya.
Akar masalah berupa tendensi konflik kepentingan yang berujung dugaan kerugian negara di Pupuk Indonesia itulah yang tidak pernah disentuh Presiden, padahal, ingat, sumber pendapatan Pupuk Indonesia yang terbesar adalah dari subsidi langsung pemerintah (Rp25 triliun tahun 2020).
Presiden lari-lari terus dari masalah ini, menghindar sana-sini, tutupi sana-sini dengan berita-berita pencitraan khasnya.
Mana berani presiden tegur menteri BUMN yang sakti ini....
Ayo, coba panggil menteri dan kakaknya itu, lalu selesaikan sengketa ini secara hukum, bukan dengan kesepakatan.
Jadi kesimpulannya adalah jangan sampai kita dijauhkan dari akar masalah yang sebenarnya, yaitu konflik kepentingan di BUMN. Itulah yang perlu diselesaikan atas nama good governance.
Kita mau melihat yang menjadi pelaku korupsi di BUMN itu dihukum, bukan justru dilindungi. Semuanya seret saja, tidak ada urusan: menterinya, keluarganya, pemain pajak, kontraktor, makelar, direksi/komisaris BUMN...
Kalau begitu penjara bisa penuh, dong?
Gampang. Keluarkan dan rehabilitasi saja pengguna narkoba (ini sudah mengurangi 40-an% kapasitas lapas), lalu isi ulang dengan para pejabat dan pengusaha perampok duit negara.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)