Dyna Rochmyaningsih is a freelance journalist whose works have appeared in Science Magazine, Nature, and BBC Future. From her home in North Sumatra, she has written stories on health, environment, technology, and science policy in Indonesia. Dyna got her B.Sc in biology from Bogor Agricultural University and is an alumnus of SjCOOP Asia, a science journalism program organized by the World Federation of Science Journalists (WFSJ). She is currently the Executive Director of the Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).
***
Di akun twitternya @rochmyaningsih (25/09/2021), Dyna Rochmyaningsih menuturkan perjalanan karirnya:
Saya menikah di umur 23 dan beberapa orang terkejut dengan keputusan saya. "Don't you wanna enjoy your 20s?" "Gak mau cari beasiswa buat kuliah S2?" "Nikmatin hidup aja dulu," "Gak mau berpetualang dan melihat dunia?'
Di umur 24 saya sudah punya anak dan tinggal di rumah kontrakan di Jakarta. Sehari-hari masak dan ngurus bayi. Capek tapi saya nikmatin aja. Kalau anak saya tidur, saya berselancar di internet pakai komputer jadul. Belajar. Nulis apa yg ada di pikiran.
Sembari menyaksikan pertumbuhan anak saya. Senyum pertamanya, langkah pertamanya, tulisan-tulisan saya mulai terbit di media internasional. Gak banyak. Satu berita setiap 2 bulan. Honornya 2jt. Lumayan buat saya yang kerja dari rumah.
Suatu ketika ada undangan ke Papua untuk meliput konservasi hiu paus. Itu impian saya tapi saya batalkan karena saya masih menyusui anak saya yang pertama. Dan saya juga ngebatalin fellowship ke Berlin gara-gara masih menyusui anak yang kedua. Saat itu sedih tapi sekarang terharu..
Kesempatan-kesempatan lain yang lebih baik datang ketika kita mengikhlaskan. Saya lalu mendapat kesempatan pelatihan jurnalisme sains dari organisasi dunia. Belajar dari jurnalis sains senior dari publikasi-publikasi terkemuka. Saya juga terus belajar dari narsum2 saya yang notabene ilmuwan dari universitas-universitas bergengsi di dunia.
Semua saya lakukan sambil menggendong bayi dan mengupas bawang. Saya bersyukur bahwa teknologi memungkinkan semua hal. Termasuk diantaranya membuka sekat-sekat fisik di sekitar saya, seorang ibu rumah tangga. Saya bisa belajar meski tidak bersekolah dan saya bisa bekerja meski bukan di kantor.
Bali, Kuala Lumpur, Hanoi, Tokyo, Seoul, San Francisco, Lausanne, Sitandiang, Kereng Bangkirai, Asilulu, Bajo Mekar, semuanya ternyata bisa saya kunjungi gratis tanpa harus menjadi mahasiswa penerima beasiswa ataupun pekerja kantoran.
Penghasilan pun bertambah tanpa diminta. Namun pencapaian yang benar-benar membuat saya menangis adalah surat dari seorang pembaca. Yaitu seorang guru besar di ITB, ilmuwan pertama di observatorium Boscha:
"Artikel-artikel Anda adalah pembuka mata, saya berbahagia banyak orang minta dicopykan artikel Anda, pada bulan Augustus yang lalu ketika saya memberi ceramah. Selamat bekerja dan selamat berpionir menggaungkan suara pikiran dan hati dari sektor ilmu dasar dan penelitian."
Menikah, menjadi ibu dan menetap di rumah bukanlah akhir dari segalanya. Semua akan datang pada saat yang tepat seperti yang sudah digariskan. Yang bisa kita lakukan adalah mengimani prinsip hidup kita, terus belajar dan berpegang teguh pada "passion".
(Dari thread twit Dyna Rochmyaningsih @rochmyaningsih, 25/09/2021)
Sy menikah di umur 23 dan beberapa orang terkejut dng keputusan sy. "Don't you wanna enjoy your 20s?" "Gak mau cari beasiswa buat kuliah S2?" "Nikmatin hidup aja dulu," "Gak mau berpetualang dan melihat dunia?'
— Dyna Rochmyaningsih (@rochmyaningsih) September 25, 2021