Kenapa Sudah Banyak yang Tervaksinasi, Kok Tetap Ada Lonjakan Kasus?
Oleh: dr. Tonang Dwi Ardyanto
"Dok, kenapa sudah vaksinasi, sudah banyak yang tervaksinasi, kok tetap ada lonjakan kasus?"
Vaksin-vaksin covid yang saat ini kita gunakan, dibuat dalam bentuk disuntikkan ke otot. Ini yang relatif mudah diuji klinis, dibuat dan digunakan dalam situasi waktu yang mendesak.
Dengan metode ini, terbentuk banyak IgG di paru-paru dan sedikit di saluran nafas atas. Dengan kondisi ini, risiko terinfeksi memang masih dapat terjadi. Hanya untungnya, karena ada IgG di paru-paru, maka diharapkan tidak timbul gejala, apalagi yang berat dan sampai terjadi kematian.
Risiko terjadinya gejala berat walau sudah ada antibodi ini, bila jumlah paparan virusnya sangat banyak sehingga jumlah antibodi kita kalah. Atau, bila menghadapi varian baru dengan mutasi sangat signifikan. Ini yang kita lihat terjadi di UK dan Singapura saat menghadapi lonjakan kasus tinggi saat ini.
Begitupun, belajar dari UK dan Singapura, kasus melonjak tinggi, RS mendapat limpahan banyak pasien, tapi angka kematian pada kelompok tervaksinasi, tetap terjaga rendah.
Walau yang bersangkutan diharapkan tidak timbul gejala, tapi virus masih bisa bersarang (shedding) dalam jumlah relatif tinggi. Maka risiko penularan ke orang lain juga masih relatif tinggi.
Untunglah tubuh segera merespon. Masuknya virus menembus mukosa itu memicu sel memori dalam tubuh membentuk IgA. Selanjutnya IgA yang membersihkan virus yang bersarang.
Pada yang sudah pernah terinfeksi atau tervaksinasi, untuk membentuk IgA ini diperlukan waktu sekitar 3-5 hari. Bisa cepat karena sudah ada sel B memori di dalam tubuh dari infeksi atau vaksinasi sebelumnya.
Selama 3-5 hari itulah risiko terjadi penularan ke orang lain. Ini sudah jauh lebih singkat, karena pada yang belum pernah terinfeksi atau tervaksinasi, masa penularan bisa sampai 14 hari.
Memang IgA ini umurnya pendek, segera menghilang lagi. Maka ketika IgA sudah menurun, risikonya dapat kembali terjadi infeksi. Tapi dengan adanya sel B memori, memperpendek masa bersarangnya virus tersebut.
Tentu saja, bila semua sadar dan disiplin protokol kesehatan, maka risiko akan makin kecil, karena berarti paparan virus makin kecil. Hanya bagi yang bekerja di lingkungan dengan paparan virus tinggi seperti para nakes, maka risiko terinfeksi harus sangat diwaspadai.
Dengan menyadari kondisi tersebut, vaksin-vaksin yang ada saat ini bersifat mencegah terjadinya gejala, terutama gejala berat dan kematian. Kemampuannya mencegah infeksi belum tinggi karena IgG di saluran nafas atas, tidak banyak.
Menghadapi hal tersebut, uji klinik vaksin terus dilanjutkan. Bila ada vaksin yang diberikan secara nasal, maka ada keuntungan lebih dibandingkan yang diberikan ke otot. IgG tetap terbentuk di paru-paru. Ditambah IgA juga terbentuk lebih tinggi di saluran nafas atas. Adanya IgA ini menjadi benteng mencegah infeksi.
Walau umur IgA pendek, tapi di saluran nafas atas juga terbentuk Sel B memori maupun sel T memori. Beda dengan vaksinasi lewat otot, sel B memori yang ini siaga di saluran nafas atas. Maka begitu ada virus masuk, tidak perlu menunggu virusnya menembus mukosa dan darah, segera membentuk IgA lagi.
Sel-sel imunitas bawaan di garis depan, juga ikut terlatih karena paparan vaksinasi nasal ini. Ditambah adanya Sel T memori, dengan cepat menyiapkan sel-sel spesifik untuk melawan virus ketika terjadi paparan.
Maka diharapkan tubuh berespon jauh lebih cepat. Virus yang berhasil bersarang semakin sedikit. Periode risiko penularan ke orang lain semakin pendek. Risiko penyebaran virus semakin kecil.
Itu yang diharapkan dari vaksinasi secara nasal.
Maka saat dapat diberikan vaksinasi nasal ini, Saat ini ada 8 kandidat vaksin covid yang diberikan secara nasal (disemprotkan ke hidung). Dari 8 tersebut, ada 2 yang sudah selesai fase 2.
Kenapa tidak sejak awal saja dikembangkan yang model nasal? Sebenarnya sejak awal sudah diusahakan juga. Tapi butuh waktu dan pengujian lebih rumit. Kalau menunggu selesainya yang versi nasal, risiko besar karena kasus terus melonjak di gelombang ke tiga kemarin.
Dengan vaksinasi nasal inilah diharapkan tidak hanya mencegah risiko gejala, tapi juga mencegah penularan. Maka kasus baru juga dapat dicegah.
Semua itu masih harapan, karena uji klinis masih berjalan. Sekaligus menjawab banyak pertanyaan mengapa masih terjadi kasus tinggi di negara-negara yang cakupan vaksinasinya sudah tinggi, bahkan sudah mencapai 80%.
Pertanyaan itu seharusnya dibalik juga: bayangkan seandainya sama sekali belum ada vaksin, walau adanya baru vaksin lewat otot.
Lebih dari itu, pembahasan ini juga menegaskan kembali: setelah divaksin, tetap harus disiplin protokol kesehatan. Sampai kapan? Sampai yakin bahwa pandemi telah terkendali.
Mangga. Nuwun.
@ TDA 25/9/2021