AKHIR pekan kemarin, rakyat heboh dengan berita dari dalam rumah tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri). Heboh, karena tersangka penista agama Islam, M.Kece mendapatkan “hadiah” bogem mentah yang diduga dilakukan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
Muka Kece menjadi bonyok dan memar sebagaimana dapat dilihat dari foto-foto yang beredar di media mainstream maupun media sosial (medsos). Tidak hanya “hadiah” bogem mentah. Bahkan si terduga penista agama yang mengaku atheis itu juga mendapatkan lumuran kotoran manusia, sebagai pengharum baginya.
Sudah badannya ‘dibedaki’ kotoran manusia, muka pun bengkak. Wajah yang katanya “Kece” pun menjadi tidak karu-karuan. Wajah garang yang selama ini menantang umat Islam di medsos dengan hinaannya kepada Nabi Muhammad Salllahu ‘alaihi wasallam, berubah menjadi muka rusak, muka mengharapkan iba, dan muka memelas.
Umat Islam garis lurus tidak ada yang simpati padanya. Bahkan, umat Islam golongan ini memuji tindakan yang diduga dilakukan Napoleon Bonaparti alias Napo Batara itu.
Dukungan kepada Napo Batara – yang ditahan karena vonis 4 tahun penjara dalam kasus suap Djoko Tjandra – terus mengalir. Apalagi, setelah ia mengeluarkan surat terbuka dari dalam tahanan, yang beredar pada Ahad, 18 September 2021.
Ia sangat jantan, karena berani mempertanggungjawabkan tindakannya, menghajar si terduga penista agama Islam. Dalam surat terbukanya itu, Napoleon menulis, “Akhirnya, saya akan mempertanggung jawabkan semua tindakan saya terhadap Kace.. apa pun risikonya.”
Mengapa Napoleon yang masih polisi aktif dengan dua bintang di pundak mengatakan itu? Sebab, dalam pandangannya, perbuatan Kece dan beberapa orang tertentu telah sangat membahayakan persatuan, kesatuan, dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sebagai seorang Muslim sejak lahir, Napoleon sangat terusik dengan perbuatan Kece, sang atheis yang melecehkan dan menghina agama Islam. Ia pun menegaskan, silahkan dirinya dihina, tetapi tidak terhadap Allah ku, Al-Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘alaihi wasaallam dan akidah Islamku.
“Siapa pun bisa menghina saya, tapi tidak terhadap Allah ku, Al Qur’an, Rasulullah SAW dan akidah Islam ku. Karenanya saya bersumpah akan melakukan tindakan terukur apa pun kepada siapa saja yang berani melakukannya,” tulis Napoleon dalam surat terbukanya itu.
Perseteruan antara Napoleon Bonaparte dengan Kece, ternyata berujung pada pelaporan ke Bareskrim Polri. Napolen dilaporkan, karena dugaan penganiayaan dan kekerasan fisik.
Menarik dianalisa, mengapa polisi begitu mudah menindaklanjuti laporan Kece tersebut? Padahal, di dalam tahanan, baik tahanan kepolisian maupun di lembaga pemasyarakatan, kekerasan sesama tahanan sudah menjadi hal yang biasa terjadi.
Ada istilah “lurah”, “komandan” dan lain-lain di dalam tahanan. Istilah tersebut disematkan kepada penghuni lama yang sudah menjadi “bos” di tahanan. Bisa juga penghuni baru yang berhasil mengambil-alih kekuasaan di dalam tahanan.
Anda mengertilah, kalau sudah ada “lurah”, “komandan” dan sebutan lain, menunjukkan kekuasaan atau seorang tahanan yang berkuasa atas tahanan lain. Sang “lurah” menjadi pimpinan di sebuah tahanan.
Ia memiliki kekuasaan “istimewa” dalam memberlakukan tahanan lain. Juga mendapatkan perlakuan “istimewa” dari penjaga tahanan. Termasuk harus menyetorkan sesuatu, terutama membagi makanan yang dibawa keluarga tahanan yang menjadi “binaannya”.
Nah, di hampir semua penjara, ada saja aksi kekerasan terjadi sesama tahanan. Akan tetapi, biasanya bisa diselesaikan di dalam, tanpa harus melapor ke polisi.
Mengapa laporan Kece malah diproses oleh polisi? Kabar yang beredar, kejadian antara Napoleon dan Kece itu sudah diselesaikan secara damai oleh sesama penghuni tahanan Bareskrim Polri. Tentu, perdamaian itu juga dipastikan difasilitasi oleh polisi yang menjaga mereka atau yang bertanggungjawab atas semua tahanan di tempat tersebut.
Semestinya, laporan sesama tahanan tidak perlu diproses oleh polisi. Kecuali mengakibatkan tahanan meninggal dunia atau cacat seumur hidup, dan tahanan yang menjadi bandar serta pengedar narkoba.
Sebab, jika setiap peristiwa di dalam penjara dilaporkan oleh yang merasa dirugikan atau teraniaya, berapa banyak yang harus diproses oleh polisi. Berapa banyak, narapidana yang akan menjadi tersangka lagi.
Polisi harus berpikir ulang menindaklanjuti laporan Kece itu. Polisi harus menghentikan proses terhadap Napoleon. Sebab, kejadian tersebut berada dalam ranah Rutan. Artinya, jika ditindaklanjuti, bakal ada penjaga tahanan atau penanggungjawabnya yang harus diproses juga. Harus diproses karena ada “pembiaran” kekerasan terjadi.
Polisi juga harus bertanggungjawab atas kekerasan yang terjadi atas Kece. Tidak bisa semata-mata membebankannya kepada Napoleon Bonaparte. Kecuali, ada polisi yang “dendam” kepada Napo Batara.
(Sumber: Editorial FNN)