[PORTAL-ISLAM.ID] Wacana pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap bahan kebutuhan pokok atau sembako terus menjadi sorotan publik. Sebab, meski pemerintah menjamin pajak hanya akan menyasar 'sembako' kelas premium, tapi banyak orang khawatir itu nantinya akan berimbas ke kehidupan masyarakat kecil.
Sorotan lain yang muncul adalah apakah pemerintah tidak punya bidikan lain yang lebih pantas dikejar pajaknya ketimbang sembako? Pasalnya, banyak sektor yang selama ini memang potensi pajaknya cukup besar tapi ternyata malah tak tergali.
Apalagi, Peneliti Indef Rusli Abdullah pernah melakukan hitung-hitungan soal potensi penerimaan pajak dari sembako. Proyeksinya, pengeluaran seluruh masyarakat Indonesia untuk sembako mungkin sekitar Rp214 ribu per bulan atau Rp2,56 juta per tahun pada 2019.
Bila dikalikan dengan jumlah populasi masyarakat Indonesia, maka ia memperkirakan total pengeluaran masyarakat untuk sembako mencapai Rp168,5 triliun. Andai PPN sembako 10 persen saja, maka potensi penerimaan pajak yang mungkin didapat sebesar Rp16,8 triliun.
Formula yang sama ia gunakan untuk menghitung pengeluaran sembako masyarakat pada 2020, yaitu mencapai Rp211,07 triliun, sehingga potensi PPN sebesar Rp21,1 triliun pada 2020. Dari kedua hitungan ini, taruh lah pajak sembako setara kenaikan alamiah pajak pada 2019 ke 2020, maka potensinya cuma Rp4,25 triliun.
Artinya, kalau PPN dikenakan untuk sembako kelas premium, potensi pajak lebih kecil dari itu.
"Berarti kenaikan potensi PPN Rp4,2 triliun dalam setahun, ini kurang lebih kontribusinya dalam mendorong tax ratio hanya 1,28 persen dari total pajak 2019 dan 1,97 persen dari pajak 2020. Ini terbilang kecil, jadi tolak PPN sembako," ujar Rusli dalam diskusi virtual Indef, Selasa (14/9/2021).
Di tengah hitung-hitungan itu, KPK baru-baru ini mengungkap potensi pajak dari sektor lain yang jauh lebih besar, yaitu perkebunan kelapa sawit.
Spesialis Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sulistyanto mengatakan banyak pajak dari sektor ini yang tidak terpungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan karena belum maksimalnya pendataan izin perkebunan di lapangan.
Hasil penelitian uji coba yang pernah dilakukan di tiga provinsi saja misalnya mencatat ada 1,4 juta hektare (ha) luasan lahan sawit yang tidak terdaftar secara resmi. Tiga provinsi itu, yakni Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Selatan.
"1,4 juta hektare di tiga provinsi itu di DJP tidak ter-record, artinya tidak bayar pajak," ucap Sulistyanto.
Ini baru dari tiga provinsi, belum daerah-daerah lain. Artinya, masih banyak kebun-kebun sawit yang tidak membayar pajak kepada negara atas usaha yang mereka jalankan. Padahal, asumsinya jumlah setoran pajak itu seharusnya mencapai puluhan triliun.
"Soal pajak, kita mengidentifikasi dan estimasi potensinya itu mungkin bisa mencapai Rp40 triliunan, tapi realisasinya baru Rp2,1 triliun," katanya.
Tak cuma dari perkebunan sawit, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri juga pernah mengatakan ada potensi penerimaan pajak yang besar dari sektor pertambangan. Tapi, lagi-lagi setoran pajaknya ke negara justru tergerus karena maraknya suap dan kasus korupsi.
"Bisa dilihat koefisien pajak dari pertambangan tinggal 0,66 persen, artinya peningkatan nilai tambah berbasis pajak dari sektor ini cuma 0,66 persen dari yang seharusnya 1 persen," ungkap Faisal.
Data koefisien pajak ini merupakan posisi pada 2020. Sementara pada 2012-2016, sebenarnya mencapai 1,4 persen. Bahkan, nilainya tertinggal dari sektor bisnis lain, misalnya jasa keuangan yang mencapai 3,54 persen.
"Jadi semakin jelas, dalam lima tahun terakhir ketika sektor pertambangan semakin dikeruk, tapi penerimaan bagi negara turun. Ini karena adanya korupsi di sektor ini," tuturnya.
Untuk itu, menurutnya, sudah seharusnya pemerintah kembali menegakkan aturan di sektor-sektor tersebut agar penerimaan pajaknya tetap maksimal sesuai potensinya masing-masing.
(Sumber: CNNIndonesia)