Oleh: Azwar Siregar
Maaf, kalau judul tulisan pagi ini agak provokatif.
Saya cukup lama menimbang judul tulisan ini. Tentu saja selain berharap tulisan ini sampai kepada Penguasa, saya juga harus memastikan diri saya aman dari jeratan UU ITE.
Begitulah situasi Demokrasi dan Negara kita terkini.
Kalau menulis Nasib Guru (khususnya Guru Honorer), saya pastikan jari tangan saya sangat lancar.
Ayah saya Guru Honorer yang "dipaksa" berhenti. Dari Pesantren milik ayahnya sendiri yang kemudian dihibahkan kepada Negara.
Adik saya yang nomor tiga, tamatan Universitas Negeri Medan (Unimed), sekarang juga jadi Guru Honorer.
Gaji mereka cuma dua ratus ribuan perbulan. Jauh dibawah gaji Penjaga Gudang saya yang kerjanya lebih banyak menonton Netflix di Kantor.
Tentu saja ini bukan cuma kesalahan Jokowi dan Nadiem. Karena Presiden-presiden sebelumnya juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Hanya saja buat apa kita memilih Pemimpin-pemimpin baru kalau kemampuannya sama saja (atau malah lebih buruk?).
Saya sering membaca tulisan yang menyebut Artis dibayar mahal untuk membodohi generasi muda (bertingkah kebanci-bancian, bergossip-ria, dan penyesatan lainnya).
Sebaliknya Guru malah dibayar super murah untuk mendidik anak bangsa. Menjaga moralitas generasi muda.
Bukannya ini masalah besar?
China aja sebagai Negara Komunis sudah mulai mengantisipasi masalah ini lewat tujuh aturan "gila-nya" Xi Jinping yang kemarin dirilis. Diantaranya adalah membatasi main game anak usia dibawah 18 tahun. Hanya boleh 1 jam pada hari Jumat, akhir pekan dan hari libur. Antara pukul 8 -9 malam.
Xi Jinping juga memerintahkan pembatasan hiburan artis China di Media Sosial. Termasuk pembredelan Akun Medsos K-Pop.
Bayangkan, negara Komunis aja sudah mengantisipasi kerusakan moral Generasi Muda mereka. Jangan tanya bagaimana sikap rakyat China kepada Guru.
China adalah Negara paling menghormati profesi Guru.
Pantas saja China hanya butuh waktu 20 tahun dari Negara Kumuh menjadi Negara Maju. Padahal mereka Negara Komunis. Negara yang cuma mengandalkan diri sendiri. Tidak berharap "bantuan" Tuhan.
Tapi pada prakteknya, sepertinya mereka lebih beriman!
Jadi saya kira ada dua hal yang wajib kita lakukan kedepan.
Pertama, tutup Sekolah Pendidikan Guru dan semua Fakultas Pendidikan di Universitas-Universitas. Karena percuma kita mencetak manusia-manusia berkualitas tinggi kalau pada akhirnya kita telantarkan.
Kalau alasan kita terlalu kebanyakan calon Guru, sebaiknya Sekolah Pendidikan Guru langsung dibawah Kemendiknas. Sama seperti Akpol atau Akademi milik Instansi Negara lainnya, para Calon Guru begitu selesai Pendidilan langsung Ikatan Dinas.
Kedua, tiru Xi Jinping...
Kedepan kita berharap mendapatkan seorang Pemimpin Nasional yang bisa menghormati dan memuliakan profesi Guru. Mantan Danjen Kopassus atau Mantan Rektor pasti paham.
Jangan lagi mantan Tukang Kayu atau mantan Penghisap Keringat Para Ojek Online. Mereka cuma paham membangun Jalan Tol atau merenovasi ruang kerja sampai 6,5 miliar. Padahal dimana-mana masih banyak Guru Honorer cuma bergaji 100-200 ribuan perbulan.
Sudah ditolak masyarakat dan disorot oleh banyak anggota dewan, renovasi tetap berjalan....
Vangsat kau Diem !!!
[fb]