Oleh: Ahmad Dzakirin (Pengamat Dunia Islam)
BNPT melalui juru bicaranya, Komjen Pol. Boy Rafli Amar mendeteksi adanya pihak-pihak di tanah air yang melakukan penggalangan dukungan atas Taliban setelah berhasil menguasai Afganistan.
Saya kira ini bukan bentuk penggalangan yang terstruktur, tapi tepatnya ekspresi emosional terkait dua hal:
Pertama, Taliban mengusung isu penegakan syariah, yang secara umum akan menarik dukungan dan simpati Muslim yang taat.
Kedua, aksi anti AS, yang dalam pandangan mereka merepresentasikan kekuatan imperialisme, yang berada di belakang aksi anti Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu, AS harus mengubah politik luar negeri yang intervensionis dan dukungannya yang membabi-buta terhadap Israel. Jika tidak, apapun aksi yang merugikan AS akan dianggap menggembirakan dan secara moral didukung.
Dan dalam dua kontruksi itu (syariah dan aksi anti AS), umat Islam di Indonesia cenderung tidak mempersoalkan lagi perincian-perincian, seperti:
Apakah metode perjuangan bersenjata (brutal) Taliban Islami, termasuk penggunaan taktik bom bunuh diri?
Apakah interpretasi keagamaan Taliban cocok dengan realitas keagamaan di Indonesia?
Dalam konteks ini pula, saya yakin banyak Muslim taat di Indonesia yang akan menolak jika kekerasan dan model interpretasi keagamaan tadi diterapkan di tanah air.
Umat Islam sejak lama menikmati praktik keagamaan yang moderat dan model penyelesaian konflik secara damai, seperti yang pernah ditempuh para pendiri bangsa kita terkait perumusan dasar negara.
Filosofi pendahulu kita adalah mengapa kita tidak duduk bersama dengan kepala dingin dan semangat persaudaraan (musyawarah dan gotong royong) dalam menyelesaikan problem kita?
Konon KH Abdul Wakhid Hasyim, ketua NU telah terlanjur pulang ke Surabaya ketika revisi Piagam Jakarta dilakukan, namun hal itu tidak menghalangi persetujuan beliau atas kesepakatan wakil Islam yang tersisa di Jakarta dan lebih dari itu, NU terbukti menjadi pendukung setia Pancasila.
Jadi apa yang dianggap sebagai penggalangan, hanya merefleksikan dukungan permukaan (superfisial) karena kesamaan nilai-nilai besar Islam.
Ketimbang menyoroti komunitas kecil yang condong kepada jalan kekerasan, kenapa kita tidak fokus memperingatkan pemerintah yang bertanggung jawab atas penurunan kualitas demokrasi kita?
Karena penurunan tersebut tidak hanya secara umum akan meningkatkan pesimisme masyarakat kelas menengah, namun juga mempertebal tembok apatisme kelompok Islamis yang beranggapan demokrasi tidak tulus untuk mereka.
Dimulai dari pembatalan demokrasi di Aljazair, tidak diakuinya kemenangan Hamas di Palestina, kudeta pemerintah Demokratis di Mesir, kekacauan di Suriah, Libya dan Yaman serta pembubaran parlemen di Tunisia.
Di tengah pesimisme kelas menengah dan persepsi ketidakadilan kelompok Islamis, maka kemenangan Taliban dapat menjadi booster kekerasan dan jalan non-demokratis.
Wallahu A'lam.
[fb penulis]