TALIBAN TALIBUN
Oleh: Balya Nur (Seniman)
Nggak boleh simpati pada Palestina, nggak boleh simpati pada Uighur. Nggak NKRI banget. Ikut campur urusan Palestina, urusana Uighur sama dengan tidak cinta pada negeri sendiri. Begitu kata Bong.
Tapi saat Taliban menguasai Afghanistan dengan merangsek sampai Kabul, penghuni kolam langsung bergolak. Teriak-teriak kaya orang kesurupan seolah pasukan Taliban merangsek ke Jakarta dari Cibinong.
Teriakan itu terdengar ke kuping BNPT. Institusi yang ngurusin terorisme itu bikin pernyataan akan “memburu” simpatisan Taliban di Indonesia. Padahal Taliban berkuasa juga belum, baru sehari Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani lari terbirit-birit meninggalkan Kabul, tapi BNPT sudah grecep mau memburu simpatisan Taliban. Alasannya, Taliban adalah organisasi teroris. Kalau Taliban teroris, sewaktu Wapres JK dan PBNU menerima delegasi Taliban, BNPT ada dimana? Lagi ngapain? Bersama siapa?
Kalau Amerika mah jangan ditanya, pokoknya kalau gagal mengintervensi sebuah Negara dan gagal membentuk Negara boneka semacam di Irak itu, rakyat yang mengusir tentara Amerika yang mengintervensi negaranya disebut teroris. Rakyat Afghanistan bukan kaya rakyat Irak yang pasrah saja negaranya dijadikan boneka Amerika. Perlawananya juga bukan kaleng-kaleng. selama Perang 1979-1989, Taliban sukses mengusir tentara Uni Soviet. Waktu itu Amerika masih mendukung Ta1i3an, karena tentu saja Uni Soviet kan musuh bebuyutannya.
Gantian, AS mengintervensi Afghanistan. Sekurangnya empat ribu tentara AS mati sia-sia oleh perlawanan Taliban walaupun akhirnya AS berhasil menjadikan Presiden Ashraf Ghani sebagaI bonekanya. Namanya boneka, seperti halnya Shah Iran dulu, Ashraf Ghani menimbun harta buat dirinya, keluarga dan kroninya.
Yvonne Ridley, jurnalis asal Inggris yang wara-wiri di Afghanistan sampai pernah ditahan oleh Taliban, menulis bahwa ibukota Kabul adalah tempat pemerintahan paling korup di dunia yang tidak dapat maju karena para politisi rakus lebih mementingkan kantong mereka sendiri daripada pemerintahan dan pembangunan yang baik.
“Tidak heran kemudian bahwa Taliban membuat terobosan besar untuk mendapatkan kembali kendali di seluruh negeri, dan dengan kecepatan yang begitu cepat sehingga membuat banyak ahli strategi militer terengah-engah,” tulis Ridley.
Jadi, kata kunci kemenangan Taliban adalah kemuakan rakyat pada perilaku pejabat Afghanistan yang korup, sewenang-wenang, dibawah pimpinan Ashraf Ghani presiden dua priode. Untuk jadi presiden dua priode banyak cara, kan lagi berkuasa. Cara yang paling norak adalah memanipulasi hasil pemilu.
Barangkali inikah yang ditakutkan BNPT terhadap simpatisan Taliban? Ya nggak lah, Gan. Simpatisan Taliban nggak punya senjata. Kalau pun misalnya bakal punya, Jokowi sudah anteng menghabiskan masa tuanya di Solo sambil duduk anteng di meuebel bikinannya. Pengganti Jokowi mungkin saja lebih adil dan mengayomi rakyat tanpa pandang golongan hingga bikin rakyat malas melawan pemerintah.
Lagipula, BNPT nggak usah khawatir, Jokowi bukan Ashraf Ghani. Walaupun Ghani sama-sama dua priode, Jokowi menang dua priode dari hasil pemilu yang adil dil dil dan bersih sih sih. Kotak suaranya saja terbuat dari besi baja anti peluru, jadi nggak mungkin curang.
Ashraf Ghani tidak disukai oleh sebagaian rakyatnya, Jokowi kata tukang survey dicintai sebagian besar rakyatnya. Ghani menimbun uang hasil korupsi, Jokowi sangat anti terhadap korupsi. Dibawah Jokowi, KPK tambah kuat karena Jokowi berhasil bikin UU yang memperkuat KPK. Kalau nggak percaya, tanya saja pada Ngabalin.
Ghani ucapannya nggak bisa dipegang karena selalu bicara faktanya malah kebalikannya. Misalnya ketika dia kabur ke Uni Emirat Arab yang menurut laporan Associated Press bawa duit berkoper-koper, tapi dia membantah bahwa dia kabur. Menurut Komite Pengawas DPR Amerika Serikat (AS), Ghani bawa kabur duit bantuan Amerika buat rakyat Afhanistan sekitar USD169 Juta.
Tapi Ghani mengaku terpaksa meninggalkan Afghanistan. Bahkan ia cuma membawa satu setelan baju dan sandal saat pergi dari negaranya. "Saya terpaksa meninggalkan Afganistan hanya dengan satu set pakaian tradisional, rompi, dan sandal yang saya kenakan ini" ujarnya.
"Saya diusir dari Afghanistan sedemikian rupa sehingga saya tidak sempat mencopot sandal dari kaki saya dan memakai sepatu boots saya," tutur Ghani, sembari menekankan bahwa dirinya tiba di UEA 'dengan tangan kosong'.
Beda dengan Jokowi yang satu kata satu perbuatan. Belum pernah Jokowi berbohong demi pencitraan. Kalau A dia bilang A, kalau B dia bilang B. Jokowi anti lip service. Kalau nggak percaya, tanya Faldo Maldini.
Ghani adalah presiden boneka Amerika. Jokowi bukan presiden boneka, baik Amerika maupun parpol pendukungnya. Dari semua presiden Indonesia, hanya Jokowi yang bisa tegas memegang prinsip demi kebenaran dan kesejahteraan rakyat. Dia nggak bisa disetir oleh parpol pendukungnya. Kalau nggak percaya, tanya saja pada Moeldoko.
Jadi, nggak mungkinlah simpatisan Taliban akan macam-macam terhadap pemerintah Jokowi yang adil, baik hati dan rajin menabung. Apalagi sampai kepikiran bikin onar atau lebih jauh bikin perlawanan bersenjata.
Biarlah di sini berkembang dua narasi demi keseimbangan informasi. Taliban bukan hanya dimusuhi Bong dan BNPT tapi juga media. Satu sisi media menulis, Taliban akan menerapkan syariah Islam. Sisi lain media menulis, pasukan Taliban memburu kaum wanita untuk diperkosa. Media nggak malu melacurkan diri memuat informasi yang saling bertentangan dan nggak masuk akal seperti itu demi memuaskan dahaga Bong.
Keberadaan simpatisan Taliban bisa menjadi kontra narasi dari informasi yang mungkin saja lebih valid. Biarlah masyarakat menilai, mana yang lebih valid, informasi dari media yang membenci Taliban atau informasi dari simpatisan Taliban ? Masa begitu saja nggak boleh sih, Gan?
(fb penulis)