Taliban kembali menguasai Afghanistan dengan jatuhnya ibu kota, Kabul, Ahad, 15 Agustus 2021. Mereka juga telah menguasai istana kepresidenan, setelah presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri ke Tajikistan.
Thaliban dan Thulab adalah jamak dari kata Thalib yang berarti pelajar atau bahasa Indonesia dengan istilah santri, di baca nashob karena Kalimat Masdar dan bentuk dialek masyarakat bangsa Pastun.
Thaliban awalnya adalah sekumpulan para santri yang di pimpin oleh Al-Mulla Muhammad Umar Al-hanafiyyah, lahir pada tahun 1962 di Oruzkan provinsi Qandahar, para santri ini berasal dari madrasah-madrasah semacam Zawiyah di daerah perbatasan Afghanistan dan Pakistan di Peshawar, Bhalucistan dll, yang di kelola oleh ulama-ulama sunni.
Aqidah Thaliban adalah Al-Maturidi dan bermazhab fiqih Hanafiah 90 persen dari total penduduk Afghanistan. Wilayah Afghanistan ditaklukkan di era Umar bin Khattab dengan panglimanya Al-Hakam.
Abu Manshur al-Maturidi, Imam Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah
Tokoh kita satu ini selalu disandingkan dengan Abu al-Hasan al-Asy’ari sebagai dua tokoh besar manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Memang benar, rekam jejak kehidupannya tak banyak diulas oleh para sejarawan terkenal seperti Ibnu Katsir, Ibnu Khalkan, Ibnu Nadim, dan Ibnu Atsir dalam catatan-catatan sejarah mereka. Akan tetapi, seluruh kehebatan murid-muridnya serta karya tulisnya telah menunjukkan kepada kita betapa hebatnya tokoh kita satu ini. Tak ayal, para pengikutnya menjuluki tokoh kita ini dengan julukan Rais Ahlussunnah (pemimpin golongan Ahlussunnah), al-Imam al-Zahid (pemimpin yang zuhud), dan beberapa julukan lainnya.
Ia bernasab lengkap Muhammad bin Muhammad bin Mahmud atau yang dijuluki juga dengan Abu Manshur al-Maturidi. Dalam manuskrip kitab At-Tauhid karya Abu Manshur al-Maturidi tertulis bahwa Abu Manshur merupakan keturunan dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari, seorang tokoh sahabat Nabi yang rumahnya menjadi tempat pertama Nabi menetap di kota Madinah ketika hijrah dari kota Makkah. Hal ini juga diutarakan oleh Kamaluddin Ahmad al-Bayadhi dalam kitab Isyarat al-Maram min Ibarat al-Imam.
Abu Manshur al-Maturidi dilahirkan di desa Matrid, sebuah desa di daerah Samarkand yang sekarang termasuk bagian dari negara Uzbekistan. Mengenai tahun kelahirannya, Dr. Muhammad Ayyub menyatakan Abu Manshur al-Maturidi lahir sekitar sebelum tahun 238 H. Ia hidup di zaman kemajuan daerah Asia Tengah sebagai pusat peradaban Islam. Di antara ulama besar yang sezaman dan berasal dari satu daerah dengan beliau adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (w. 256 H) dan Muslim bin Hajjaj an-Naisabur (w. 261 H). (Lihat tesis doktoral Dr. Muhammad Ayyub di Universitas Dar al-Ulum, Kairo berjudul al-Islam wal Imam al-Maturidi).
Corak Pemikiran Abu Manshur al-Maturidi
Sejak Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abbasiyyah mengucilkan ajaran sekte Muktazilah pada tahun 234 H maka semenjak itulah ajaran sekte Muktazilah mulai menyingkir ke daerah-daerah sekitar Asia Tengah. Begitu juga dengan sekte Qaramithah yang mencapai kejayaan dakwahnya di daerah Asia Tengah sekitar tahun 261 hingga tahun 278 H. Ditambah dengan pengaruh ajaran Zoroaster dan beberapa ajaran agama lain yang mengakar kuat sejak dahulu di Asia Tengah. Hal ini juga disebabkan letak daerah Asia Tengah yang strategis sebagai jalur perdagangan dan pertemuan budaya dari daratan China hingga kawasan Timur tengah.
Maka, tampillah Abu Manshur al-Maturidi sebagai tokoh Aswaja paling berpengaruh di Asia Tengah dengan segenap karya tulisnya yang mampu mematahkan segenap pemikiran sekte yang menyimpang dengan argumentasi nalar yang kuat.
Pemakaian nalar akal yang cukup dan seimbang adalah corak pemikiran Abu Manshur al-Maturidi dalam ilmu aqidah yang juga mengacu terhadap karakter pemikiran Imam Abu Hanifah.
Oleh karena itu, tidak berlebihan bahwa pemikiran yang dibawa oleh Abu Manshur al-Maturidi adalah penyempurna argumentasi yang dibangun oleh Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar.
Bahkan, hingga saat ini sebagian besar pengikut ajaran Abu Manshur al-Maturidi adalah pengikut mazhab Abu Hanifah dalam bidang ilmu fiqih. Tentu hal ini sangat berbeda dengan sekte Muktazilah yang lebih mengedepankan akal melebihi nash Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana yang diutarakan oleh Dr. Abu Zahrah:
إنّ منهاج الماتريدية للعقل سلطان كبير فيه من غير أىّ شطط أو إسراف، والأشاعرة يتقيّدون بالنّقل ويؤيِّدونه بالعقل، حتّى إنّه يكاد الباحث يقرّر أنّ الأشاعرة فى خطّ بين الاعتزال وأهل الفقه والحديث، والماتريديّة فى خطّ بين المعتزلة والأشاعرة
“Manhaj al-Maturidi memakai argumentasi nalar yang besar tanpa melampaui batas dan berlebihan. Sedangkan, manhaj al-Asy’ari berpegang teguh dengan dalil Naql serta mengukuhkannya dengan argumentasi nalar akal. Sehingga sebagian pengkaji ilmu aqidah meneguhkan bahwa manhaj al-Asy’ari berada di antara pemikiran sekte Muktazilah dan ulama ahli fiqh dan ahli Hadits sedangkan manhaj al-Maturidi berada di antara pemikiran sekte Muktazilah dan manhaj al-Asy’ari” (Dr. Abu Zahrah, Kitab Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah [Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi], 2008, vol. 1, hal. 212).
Memang benar, ada perbedaan pendapat di antara golongan al-Maturidi dan golongan al-Asy’ari dalam beberapa permasalahan, seperti hakikat iman orang yang taqlid (pengikut mazhab) dan sejenisnya sebagai imbas dari analogi pemikiran yang berbeda. Akan tetapi, perbedaan tersebut tidak sampai membuat satu golongan mengkafirkan dan membid’ahkan golongan yang lain. Bahkan, sebagian ulama pembesar mazhab al-Asy’ari juga beberapa kali lebih condong terhadap pendapat Abu Manshur al-Maturidi begitu juga sebaliknya. Sebagaimana yang dicatat oleh Musthalah ad-Din Musthafa al-Kastali (w. 901 H):
والمحققون من الفريقين لا ينسب أحدهما الآخر إلى البدعة والضلالة
“Dan para ulama ahli tahqiq dari dua golongan (al-Maturidi dan al-Asy’ari), di antara keduanya tidaklah menisbatkan bid’ah dan sesat kepada satu sama lain” (Hasyiyah al-Kastali ala ‘Aqaid an-Nasafiyyah [Baghdad: Maktabah al-Mutsanna], 1979, hal. 17).
Sikap moderat dalam menyikapi akal dan nash juga ditegaskan oleh Abu Manshur al-Maturidi dalam kitab at-Tauhid, ia mengatakan, “Agama hanya dapat dikenal dengan mendengarkan (nash) dan nalar akal.” Oleh karena itu, Abu Manshur al-Maturidi memberikan batasan yang jelas dalam seluruh karyanya tentang penggunaan nalar akal. Dan ada kalanya akal harus tunduk terhadap nash sahih dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Karya-karya Abu Manshur al-Maturidi
Di antara karya Abu Manshur al-Maturidi yang terkenal dalam ilmu aqidah adalah kitab at-Tauhid, kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar, kitab al-Maqalat al-Maturidi, kitab Bayan Wahm al-Mu’tazilah, kitab Radd Wa’id al-Fussaq, kitab Radd al-Ushul al-Khamsah, kitab Radd Tahdzib al-Jadal, kitab Radd Awail al-Adillah, kitab Radd ‘ala Qaramithah, kitab Aqidah al-Maturidi, dan kitab Radd al-Imamah.
Sedangkan karya menumentalnya dalam ilmu tafsir Al-Qur'an adalah kitab Ta’wilat al-Maturidi dan kitab Ta’wilat Ahlus Sunnah.
Dan karya monumental Abu Manshur al-Maturidi dalam ilmu ushul fiqh adalah kitab al-Jadal dan kitab Ma’akhidz asy-Syara’i.
Hal ini semua menunjukkan bahwa Abu Mashur al-Maturidi adalah seorang pembesar ushul fiqh mazhab Hanafi yang juga seorang ahli ilmu tafsir dan ahli ilmu aqidah. (Abu Manshur al-Maturidi, Hayatuhu wa Arauhu al-‘Aqdiyyah [Tunisia: Dar at-Turk], 1989, hal. 62).
Sanad Keilmuan Abu Manshur al-Maturidi
Tokoh kita ini berguru kepada Abu Bakar Ahmad al-Juzjani, Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh, dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H), dan Muhammad bin Muqatil ar-Razi (w. 248 H). Seluruh guru Abu Manshur al-Maturidi tersebut mengambil sanad keilmuan kepada Abu Sulaiman bin Musa al-Juzjani. Sedangkan, Abu Sulaiman bin Musa al-Juzjani mengambil sanad keilmuan kepada al-Qadhi Abu Yunus (w. 182 H) dan Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H) yang merupakan dua murid terbaik imam Abu Hanifah. Murid-murid Abu Manshur al-Maturidi yang paling masyhur adalah Abu Qasim as-Samarkandi (w. 342 H), Ali ar-Rustaghni (w. 350 H), dan Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi (w. 390 H). (Dr. Ahmad Hamdi Ahmad Ali, Juhud al-Madrasah al-Maturidiyyah [Kairo: Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats], 2017, hal. 35).
Dikisahkan, Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh salah satu guru Abu Manshur al-Maturidi tidak pernah memulai berbicara di majlisnya sebelum Abu Manshur al-Maturidi hadir. Dan tatkala Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh melihat Abu Manshur al-Maturidi datang dari kejauhan maka ia akan menyambut murid terkasihnya ini dengan lantunan ayat “Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki…” (Qs. Al-Qashah ayat : 68). (Ahmad bin Auwd al-Hazb, al-Maturidiyyah Dirasatan wa Tahqiqan [Riyadh: Dar al-‘Ashimah], 1992, hal. 98).
Akhir Hayat Abu Manshur al-Maturidi
Para ulama ahli sejarah sepakat menyatakan bahwa Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 H. Abu Manshur al-Maturidi wafat pada usia sekitar 100 tahun dan dimakamkan di daerah Samarkand. Ketika pemakamannya salah satu muridnya yang bernama Abu Qasim as-Samarkandi menulis di batu nisan Abu Manshur al-Maturidi dengan sebuah pujian yang indah untuk sang guru:
هذا قبر من جاز العلوم بأنفاسه، واستنفد الوسع في نشره وأقباسه فحمدت في الدين آثاره واجتنى من عمره ثماره
"Ini adalah makam tokoh yang telah mencapai berbagai keilmuan dalam setiap nafasnya, ia telah menghabiskan masanya untuk menyebarkan dan mempelajari ilmu. Maka, terpujilah jejak langkahnya dalam membela agama serta dipetiklah buah-buah karya dan jerih payah dari seluruh umurnya." (Ahmad bin Auwd al-Hazb, al-Maturidiyyah Dirasatan wa Tahqiqan [Riyadh: Dar al-‘Ashimah], 1992, hal. 97).
*Penulis: Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo