[PORTAL-ISLAM.ID] Setelah kepergian tentara Amerika dan kepergian Presiden Ashraf Ghani, Taliban menguasai ibu kota Afghanistan, Kabul, dengan mudah dan tanpa peperangan. Kembalinya Taliban menguasai negara yang diliputi konflik puluhan tahun itu menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan dan negara. Sejumlah peristiwa pun mewarnai masa transisi pemerintahan ini.
Beragam janji manis ditawarkan Taliban untuk meyakinkan warga Afghanistan. Namun, sejumlah pihak meragukan janji tersebut akan terealisasi karena latar belakang Taliban yang cukup ekstrem.
Syakir NF, pewarta NU Online, melakukan wawancara khusus dengan Sejarawan KH Abdul Mun’im DZ, pada Selasa (24/8/2021).
KH Abdul Mun’im yang juga Wakil Sekjen PBNU merupakan salah satu delegasi aktif dalam berbagai upaya perdamaian yang dilakukan NU, pemerintah Indonesia, dan berbagai faksi Afghanistan. Ia juga menulis buku berjudul Diplomasi Jalur Kedua: Peran NU dalam Perdamaian di Afghanistan.
Berikut petikan wawancaranya.
Taliban kembali berkuasa di Afghanistan setelah dua dekade. Hal itu ditandai dengan pendudukan istana setelah kepergian Presiden Ashraf Ghani. Taliban memberikan berbagai janji manis, seperti perizinan perempuan untuk berpendidikan dan bekerja sesuai dengan syariat Islam, hingga tidak melakukan kekerasan terhadap lawannya. Bagaimana Anda melihat janji manis tersebut. Apa mungkin hal itu terealisasi?
Taliban di bawah pimpinan sekarang berbeda. Sekarang lebih moderat. Jadi, dia makanya membuktikan dengan pengambilalihan kekuasaan tanpa pertempuran dan pembantaian. Dari situ saja, mereka memenuhi janjinya ingin membuat pemerintah kerja sama. Situasi sekarang di sana cukup aman di tengah gejolak revolusi.
Makanya, kita percaya mereka akan merealisasi apa yang dijanjikan. Walaupun tidak semuanya karena ada struggle berbagai faksi di dalamnya. Nanti terjadi struggle of power. Kemudian antarfaksi lainnya.
Bisa jadi, lebih luas dari yang ditawarkan sekarang. Nanti kan dialog dengan kelompok yang lain. Setidaknya, janji itu paling nggak dipenuhi. Mereka tidak melakukan balas dendam dengan lawan politiknya. Memberikan pengampunan terhadap lawan politiknya. Termasuk tentara pemerintah juga diapresiasi dan dilindungi. Itu wujud dari janji mereka.
Soal keamanan yang berbondong-bondong bandara itu kelompok Hazara dari Syiah. Itu ketakutan tetapi tidak dimusuhi. Ada kelompok Uzbek yang selama ini berseberangan dengan Taliban. Kemudian orang asing.
Sekarang jauh lebih baik tenang. Yang tutup kantor pemerintahan dan militer karena masih transisi. Kehidupan di bawah lebih aman. Dulu, dijaga tentara pemerintah dan NATO. Orang-orang pribumi dicurigai Taliban. Sekarang sudah tidak ada lagi.
Apa yang melatarbelakangi perubahan Taliban?
Perubahan itu terjadi karena berbagai faktor. Faktor pengalaman politik. Faktor NU sangat besar. NU Indonesia mendirikan NU Afghanistan. Sekarang berkembang di 22 provinsi. Di situ, hampir 7.000 ulama yang ikut di NU, belum santrinya. Mereka aktif melakukan dialog dengan pimpinan lain, termasuk Taliban.
Taliban juga intensif dialog dengan NU Indonesia. NU memperkenalkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Mereka tertarik dengan paham tawashutiyah. Walaupun tawasuth, tetapi berani jihad juga. Kalau sudah waktunya berjuang mati-matian. Perjuangan tahun 1945 melawan penjajah dan tahun 1965 melawan PKI misalnya.
Mereka jadi tahu, ternyata walaupun moderat, tetapi berani jihad juga. Kita jihad itu bukan sembarangan, ada waktunya.
Mereka, NU Afghanistan, melanjutkan misi kita dialog dengan Taliban di level bawah. Rupanya cukup berpengaruh di mereka. Selain situasi yang memaksa berubah juga menerima masukan dari NU.
Mereka (Taliban) itu bukan teroris. Waktu bertemu kita juga yang kita bicarakan itu ISIS, bagaimana Indonesia bisa membantu melawan ISIS.
Dengan adanya pengambilalihan pemerintahan, sebetulnya, apa yang hendak mereka tuju?
Dia sebetulnya mengambil alih pemerintahan dari Amerika. NU sudah ke sana itu dalam rangka menyiapkan masa transisi. Pasti akan terjadi konflik. NU menyiapkan masa transisi ini karena pemerintah sudah pasti akan jatuh. Oleh karena itu, kita mengusulkan agar ada pembicaraan Bersama, sharing power (berbagi kekuatan). Itu sudah lama kita siapin. NU masuk ke sana dalam rangka mengantisipasi perginya Amerika dan situasi masyarakat.
Pada tahun 2011, kita undang semua faksi Afghanistan ke Indonesia. Persiapan kita sudah sangat jauh. Kita perkenalkan pengalaman Indonesia dalam masa transisi kemerdekaan.
Kita juga mengajarkan pembuatan konstitusi. Kita mengutus KH Saifuddin Amsir menjelaskan Pancasila dan syariat. Mahkamah Agung selalu melibatkan fatwa ulama. Ternyata, Indonesia dengan Pancasila, tetapi syariat Islam berlaku juga.
Kita juga jelaskan UUD 1945. Kita harapkan (Indonesia) bisa menjadi inspirasi mereka. Dengan prinsip asas musyawarah, syariat Islam tetap berjalan. Banyak ulama NU dikirim ke sana.
Masa transisi ini kesempatan luar biasa. Ini golden moment Indonesia hadir di sana untuk merumuskan konstitusi baru Afghanistan. Orang pada cemas akan menginspirasi radikal di Indonesia. Mereka sudah diskusi banyak dengan NU. NU di sana sudah berkembang. Mereka juga membantu evakuasi.
Konflik terjadi di sana sini itu biasa. Letupan itu biasa di dalam transisi. Itu kan tidak mencerminkan situasi umum. Teman-teman di sana mereka tenang bahkan lebih aman. Mereka lebih nyaman. Kecuali orang-orang yang ketakutan.
Adakah rencana untuk mengambil kesempatan emas tersebut?
Kita selalu komunikasi dengan pihak sana. Tinggal tunggu momentum memang. Golden moment ini karena dulu hanya disampaikan dalam bentuk ide-ide, sekarang bisa lebih konkret dalam bentuk konstitusi. Momen ini bisa dilakukan segera. Pemerintah Indonesia atau NU bisa membuka jaringan ke sana.
Namun, persoalannya pemerintah kita belum mengakui. Ini problem. NU yang bisa untuk membuka diplomasi jalur kedua karena tidak terikat dengan protokol kenegaraan. Ya, kita baru kontak-kontak. Ada yang evakuasi. Teman NU Indonesia dan NU Afghanistan bantu proses evakuasi para diplomat. Setelah itu, kita kontak terus terjadi.
Banyak yang beranggapan bahwa kemenangan Taliban dalam menguasai kembali Afghanistan dapat menimbulkan inspirasi radikalisme di Indonesia. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal tersebut?
Taliban bukan gerakan transnasional. Itu tidak akan terjadi. Berbeda dengan HTI atau ISIS. Taliban itu gerakan nasional. Itu akan fokus pada negaranya sendiri.
Taliban itu tidak ada anggotanya dari asing. Pasukannya Afghan sendiri. Kekhawatiran boleh saja, tetapi (kemungkinan itu) jauhlah. Mereka itu insyaallah kalau gak ada konflik antarmereka insyaallah berjalan smooth (lembut).
Mereka sudah jenuh dengan perang. Sudah 45 tahun perang. Mereka belum punya solusi cara menghentikan. NU memberi solusi dengan dialog, rekonstruksi dan rekonsiliasi, baik sosial maupun pemerintahan. Kita tidak cemas karena kita terlibat. Tanpa mengingkari adanya insiden di sana-sini.
NU di sana sekarang lebih leluasa. Gak khawatir ditutup sebagai Taliban.
Pra-anggapan mengenai Taliban yang sudah berkomunikasi dengan Amerika muncul sehingga jalannya menuju kekuasaan mulus.
Taliban mestinya sudah berkomunikasi dengan semuanya, dengan Saudi, dengan Amerika, memang sudah dibicarakan semua, dengan Rusia, dengan China. Itu berpengaruh juga. Makanya, tentu saja Amerika sudah bicara dengan mereka lama. Namanya diplomasi juga itu kan saling berbicara. Kalau nggak, bisa saja memberondong. Semua dibicarakan tuntas. Sudah saling bertemu sudah direncanakan belasan tahun lalu.
Indonesia masuk ketika mereka mulai mengalah. Harus saling mengalah. Kita berdoa saja semoga bisa berjalan baik dan bertahan, tidak ada interupsi dari kekuatan lain.
Ke depan, Afghanistan bakal menjadi negara yang seperti apa di bawah penguasaan Taliban?
Ini pengalaman sudah lebih dari 40 tahun tidak melahirkan apa-apa. Mereka mengidealkan Indonesia. Negara yang jauh dan luar biasa kemakmurannya. Presiden Burhanuddin Rabbani minta para pemimpin belajar ke Indonesia dan meminta bantuan Indonesia untuk dapat membantu mereka.
Bagi mereka, menjadi Indonesia aman dan makmur. Mereka kita pernah ajak dengan keliling Indonesia. Aman. Ideal type orang Afghanistan itu Indonesia. Bukan Saudi, bukan Pakistan. Ya Indonesia dulu. Kita ajak mereka ke luar Pulau Jawa. Mereka tahu Indonesia sangat luas dan beragam, tetapi tetap satu.
NU Indonesia memberikan beasiswa kepada para pelajar Afghanistan untuk studi di kampus-kampus NU. Apakah hal tersebut masih berjalan sampai sekarang?
Masih berjalan beasiswa. Mereka jadi PR (public relation)-nya NU di sana. Mereka akan berbagi dengan masyarakat di sana tentang perempuan naik kendaraan umum dari Surabaya ke Jakarta aman.
Mereka disambut orang-orang pribumi yang agamanya beda-beda. Nginep di rumah di Bali yang nyambut orang Hindu. Di Jogja disambut Katholik. Disambut warga. Itu modal kampanye mereka di tingkat masyarakat. Orang non-Muslim juga baik-baik. Kalau Taliban musuhan dengan non-Muslim, di sini orang bisa rukun. Itu jadi bekal untuk disosialisasikan di sana. Orang sana cukup tahu tentang Indonesia.
(Sumber: NU-Online)