Selamat Datang Taliban: Eksperimentasi Masa Depan Afghanistan
Oleh: Ahmad Dzakirin (Pengamat Dunia Islam)
Kabul ternyata lebih cepat jatuh di tangan Taliban ketimbang perkiraan AS. Kali ini, AS dan Uni Eropa tidak lagi 'menolong' pemerintah Afghanistan yang rapuh. Kejatuhan Kabul menandai akhir 20 tahun proyek demokrasi dan pemaksaan gaya hidup 'Amerika' yang mahal di Afghanistan.
Taliban pada awalnya bangkit sebagai pemenang di antara salah satu faksi 'nasionalis' Mujahidin Pushtun pasca terusirnya Uni Soviet dan Perang Saudara.
Perang Saudara di Aghanistan pasca kemenangan Mujahidin pada 1992 merefleksikan perebutan pengaruh antara faksi 'nasionalis Islamis' melawan faksi 'globalis Islamis'.
Seiring terusirnya Uni Soviet, AS berkepentingan mengganti sekutu (mujahidin) globalis-nya dengan "lesser enemy" (lokal) yang tidak berpotensi menjadi ancaman di masa depan. Maka para Taliban dari madrasah di sepanjang perbatasan Af-Pak menjadi proxy terbaiknya.
Mereka adalah pemimpin rural dari mayoritas etnik Pashtun, yang militan dalam agama, namun cenderung kurang terdidik dan minim pengalaman.
Dengan dukungan AS, Pakistan dan Arab Saudi, para Taliban memenangkan pertarungan (1996). Tidak heran, jika kemudian AS, Pakistan dan Arab Saudi menjadi negara pertama yang mengakui eksistensinya.
Namun pasca 11 September 2001 (Peristiwa 9/11), seiring tuntutan AS kepada Taliban untuk menyerahkan Usamah bin Laden, maka AS dan Inggris tidak lama kemudian menginvasi negeri miskin yang lama terkoyak perang tersebut dan menjatuhkan pemerintahan 'ortodoks' Taliban.
Dalam kegigihan yang sama, 20 tahun kemudian, Taliban sukses merebut kembali kekuasaan (2021). Taliban merefleksikan karakter rakyat Afghanistan yang gigih melawan pendudukan asing.
Invasi AS di Afghanistan telah merenggut nyawa 40 ribu warga sipil dan 25 ribu pasukan internasional, dan menguras tidak kurang 815 milyar dollar AS untuk membiayai perangnya di Afghanistan. Belum lagi, 130 milyar digelontorkan untuk proyek rekonstruksi di Afghanistan.
AS membutuhkan 20 tahun dengan segala harganya uuntuk menyadari kegagalannya sama seperti Uni Soviet (1979-1989) atau Inggris (1839-1842) dan (1878-1880). Afghanistan telah menjadi kuburan bagi mereka untuk alasan yang salah dan kebijakan yang tidak seksama.
20 tahun kemudian, AS mulai menyadari bahwa Taliban bukan kelompok teroris yang mereka persepsikan. Maka selebrasi cara pandang ini, hanya akan menguntungkan kelompok pembenci Islam dan industri Islamophobia.
Bagi saya, kebangkitan Taliban hampir sama dengan kebangkitan Dinasti Saud pada 1925, ketika ortodoksi agama pada praktiknya tidak membahayakan dan sejalan dengan kepentingan AS.
Penarikan mundur total pasukan AS, yang diawali sebelumnya dengan perundingan antara Taliban dan AS di Doha (Qatar) sejak 2018 merupakan rasionalisasi kebijakan AS bahwa memusuhi Taliban bukan kebijakan prioritas dan strategis AS.
Alih-alih memusuhi, memberi kesempatan Taliban berkuasa adalah strategi terbaik. Akan ada saatnya, Taliban yang merefleksikan tipologi masyarakat Islam rural akan mengalami normalisasi sebagai proses interaksi dengan para pemain global terkait cara pandang keagamaan, kultur dan kepentingan pragmatisnya.(*)