Vaksinasi Jadi Syarat Aktivitas Di DKI?
Oleh: Tony Rosyid (Pemerhati Bangsa)
Masyarakat menilai bahwa Pemprov DKI Jakarta paling serius dalam menangani pandemi Covid-19. Ini terlihat ketika Pemprov DKI melakukan antisipasi sejak virus mematikan ini belum masuk ke Indonesia, membuat langkah sigap saat virus sudah masuk, dan melakukan penanganan cepat ketika virus sudah menyebar dan memakan banyak korban.
Ikhtiar serius yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sudah mulai tampak hasilnya. Dalam dua pekan ini, angka penyebaran Covid-19 melandai. Dari 113 ribu kasus aktif pada tanggal 16 Juli, saat ini tinggal 15 ribu. Turun pesat dalam dua minggu.
Apa strategi yang dilakukan oleh Pemprov DKI? Pertama, memperbanyak testing dan tracing. Ini dilakukan untuk mengidentifikasi warga yang terinveksi, sehingga bisa segera ditangani. Pemprov DKI melakukan tes PCR hingga 20-30 ribu orang per hari. Ini melampaui standar WHO untuk Jakarta yaitu 1.521 orang per hari. Ini artinya bahwa testing di DKI Jakarta 15-20 kali lipat dari standar WHO.
Strategi testing dibarengi dengan penyiapan ruang isolasi yang memadai. Meski beberapa pekan sempat kewalahan, karena tingginya angka terinfeksi. Namun, sekarang semua telah teratasi.
Kedua, vaksinasi. Sampai bulan Juli, ada 4,2 juta warga KTP DKI yang tervaksinasi. Data lapangan membuktikan bahwa dari 4,2 juta itu, hanya 2,3 persen yang tetap terinfeksi. Tingkat kematian hanya 0,013 persen.
Artinya, vaksinasi terbukti ampuh untuk menekan penyebaran covid dan angka kematian. Dari data ini, Pemprov DKI membuat kebijakan baru: semua warga yang beraktivitas di DKI harus menunjukkan surat vaksin.
Tidak hanya Jakarta, sejumlah negara juga telah menerapkan kebijakan wajib vaksinasi sebagai syarat aktifitas publik. Diantaranya adalah Australia, Inggris, Rusia, Italia, Amerika, Yunani, Saudi Arabia, dll.
Ini mengingatkan kita ketika mau berangkat umroh. Dulu ada syarat vaksin miningitis. Dan kita telah terbiasa dengan vaksin ini. Sekarang, ditambah vaksin untuk covid. Agak kagok di awal, nanti lama-lama akan terbiasa.
Terkait kebijakan Gubernur DKI ini, pro kontra muncul. Dua-tiga hari ini mulai ramai di media dan medsos. Banyak yang mempertanyakan. Terutama soal adanya sanksi.
Anies menjelaskan bahwa vaksinasi terbukti mengurangi resiko jika sampai terpapar Covid. Yang sudah tervaksin, jikapun terpapar, maka yang bersangkutan merasakan tanpa gejala atau bergejala ringan. Mengapa? Karena vaksin telah mengajari tubuh mereka tentang virusnya, dan tentang bagaimana harus bereaksi terhadap SARS-Cov-2.
Di Jakarta, ada 300 lebih lokasi yang disiapkan untuk vaksinasi. Dan itu semua gratis. Karena itu, sangat mudah untuk mendapatkan vaksin.
Tujuan ketentuan ini adalah melindungi dari terjadinya gejala berat yg bisa fatal, jelasnya.
Analogi sederhananya soal wajib pakai helm jika bersepeda motor di jalan raya. Boleh naik sepeda motor ke jalan raya? Boleh, asal pakai helm. Apakah helm mencegah kecelakaan? Tidak. Apakah helm mengurangi risiko cedera fatal? Ya, kalaupun terjadi kecelakaan, risiko cedera fatal lebih kecil daripada yg tidak pakai helm, lanjut Anies.
Apakah kalau sudah pakai helm tetap harus taat protokol berlalu lintas? Ya, meski sudah pakai helm tetap harus taat protokol berlalu lintas: jaga kecepatan, jaga jarak aman dengan kendaraan di depannya dll, tegas Anies.
Dulu, saat helm diwajibkan juga rame kok. Sampai UU Lalu Lintas sempat ditunda. Kini 27 tahun kemudian, pakai helm sudah disadari sebagai ikhtiar melindungi diri, tutur Anies.
Menurut Anies, bahwa vaksin mirip seperti soal helm ini. Sekarang ini masih jadi perdebatan. Tidak apa-apa, itu bagian dari saling belajar. Tapi selama pandangannya mendasarkan pada landasan ilmu pengetahuan dan data empiris, maka perdebatan jadi bagus dan mencerahkan.
Prinsipnya: ikat dulu tali unta-nya, baru tawakal… tegasnya.
Soal sanksi, kata Anies, bukan untuk menambah pendapatan kas daerah. Bukan juga untuk membebani rakyat. Tapi semata-mata untuk melindungi dan menyelamatkan warga Jakarta.
Meski kebijakan sudah diambil, Anies tetap membuka ruang untuk berdialog. Selama dialog berbasis pada data dan mendasarkan pada ilmu pengetahuan, ini akan memberi pencerahan.
Jakarta, 2 Agustus 2021