Pemimpin Memberikan Harapan Bukan Ratapan
By Geisz Chalifah
Buldozer itu meluluh lantakan bukan hanya rumah, tapi juga hati manusia yang tercerabut dari akarnya.
Arogansi sang penguasa melampiaskan sumpah serapah pada mereka yang bertahan. Pada mereka yang hidup di tenda bak dalam pengungsian, tapi marwah tak bisa dibeli dengan apapun. Terlebih oleh ancaman, tonggak perlawanan ditancapkan dalam setiap jiwa yang merana namun tak mau kehilangan harga diri terlebih martabat sebagai manusia.
Lebih setahun tenda-tenda bisu menjadi saksi air mata perjuangan, lebih dari 20 orang wafat dalam situasi yang sedemikian brutal.
Ada banyak alasan untuk menggusur namun secara kasat mata bisa terbaca bahwa penggusuran itu bukan sekedar memindahkan manusia yang hidup dalam kemiskinan tapi ada kapitalisme (kaum kelas menengah) para pemilik modal yang diberi hak istimewa, pemandangan mereka dari pulau palsu (buatan) tak boleh dihalangi oleh kampung kumuh bernama Akuarium. Kemiskinan itu harus digusur dipindahkan sejauh-jauhnya agar mata para kelas menengah yang akan menghuni pulau palsu tak terganggu.
Pemimpin itu hadir dengan cinta dengan empati dengan cita-cita mewujudkan kesetaraan, mengedepankan keadilan sosial bagi setiap anak bangsa.
Keangkuhan itu sirna, kampung itu kini kembali tegak berdiri dengan lebih megah, dengan sentuhan manusiawi.
Pemimpin itu hadir memberi harapan, mewujudkan mimpi warganya untuk bisa tersenyum bukan hadir lalu meninggalkan ratapan.
Kaum miskin memang tak berdaya, tak punya suara, teriakan mereka tenggelam oleh para pemakan bangkai (buzzerRp). Yang rela melihat penderitaan saudaranya demi rezeki haram yang didapat melalui jempol yang lincah untuk membela para pemilik modal. Lalu mengatakan para penghuni di tenda-tenda dan kapal-kapal kayu tua yang bertahan itu manusia-manusia tak tau diri.
Kisah perjuangan berujung manis, ketika kemenangan di 19 April 2017 yang dramatis itu datang.
Sang pemimpin menunaikan yang dikatakan melaksanakan yang dijanjikan.
Kampung Akuarium kembali tegak berdiri martabat anak bangsa kembali dimiliki.
Mereka tak lagi dilihat sebagai beban, bukan sekelompok manusia yang harus digusur tapi dilindungi hak dan martabatnya, sebagai anak bangsa yang dilindungi oleh konstitusi.(*)