Menunggangi Pandemi Demi Ambisi
HITUNGAN normal masa kerja rezim ini masih lama, sekitar 3 tahun lagi. Tetapi urusan waktu tampaknya tak begitu penting bagi kaum ambisius.
Adalah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang punya hasrat itu. Pagi-pagi ia sudah mengusulkan amandemen UUD 1945. Teorinya sih amandemen terbatas ingin memasukkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara). Kira-kira mirip konsep GBHN (Garis Besar Haluan Negera) era Orde Baru. Tujuannya agar arah pembangunan bangsa ini terarah dan terukur sehingga tidak berganti haluan setiap pergantian presiden-wakil presiden.
Untuk urusan tersebut, Bambang bahkan sudah menemui Presiden Jokowi di Istana Bogor. Jokowi setuju usulan Bambang. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin amandemen itu hanya bicara soal PPHN?
Percayakah masyarakat bahwa mereka tidak menyinggung Pasal 7 yang berpeluang melakukan perubahan masa jabatan presiden?
Rasanya sulit dipercaya, apalagi Jazuli Fawaid wakil Ketua MPR dari PKB juga senapas dengan Bambang. Ditambah lagi penasihat komunitas Jokpro 2024, M. Qodari optimistis amandemen UUD 1945 soal masa jabatan presiden menjadi 3 periode sangat mungkin dilakukan apabila syarat-syarat terpenuhi. Ada sejarahnya Jokowi menolak ide Jokpro?
Tak hanya itu, Menkeu Sri Mulyani berpesan agar masyarakat berhati-hati karena pandemi akan berubah menjadi endemi tahun 2022 dan seterusnya. Itu artinya, kelangsungan rezim harus diupayakan biar penanganan endemi lebih efektif. Apa iya?
Tampaknya rezim ini sulit berkata jujur dan apa adanya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada ukuran rezim berhasil mengelola negara dan menyejahterakan masyarakatnya. Apalagi dalam menangani wabah. Amburadul, mulai dari pendataan korban, tingginya korban meninggal, pemberlakuan lockdown, distribusi bansos (bantuan sosial) hingga meroketnya anggaran yang dikeluarkan. Belum lagi uang yang diselewengkan.
Siapakah di antara 34 menteri di republik ini yang secara legowo mengakui kekurangan pemerintah? Siapakah mereka dari 565 anggota parlemen yang secara jantan menunjukkan kekeliruan pemerintah?
Siapakah mereka dari puluhan lembaga yang dibentuk pemerintah secara lapang dada mengakui kebijakan rezim menimbulkan ketidakadilan? Tidak ada!
Mereka semua diam, membisu menikmati kenyamanan. Mungkin saja takut bicara atau bisa jadi tidak peduli, cuek, dan acuh.
Perpanjangan masa jabatan presiden tampaknya bakal mulus. Apalagi kalau melihat dukungan di kepemerintahan yang mencapai 74,1 persen, mustahil gagal. Oposisi bisa apa?
Maka ketika Presiden Jokowi menolak usulan 3 periode, banyak yang tidak percaya. Akhir tahun 2019 Jokowi pernah menolak dicalonkan kembali menjadi presiden pada 2024. Ia melabeli pengusul sebagai orang yang ingin menampar mukanya dan menjerumuskannya.
Akan tetapi, jika kemudian ia mengangguk-angguk ajakan Ketua MPR, apakah tidak malu dibilang clutak dan kemaruk? Entahlah. Yang jelas, wacana penambahan waktu tiga tahun masa jabatan atau amandemen presiden tiga periode, terus bergulir. Mereka hari ini sedang terjangkit wabah Rumongso Biso (merasa bisa).
Negara butuh pimpinan dan pembantu yang memiliki jiwa ksatria, apa adanya dan bertanggung jawab. Negeri ini tidak butuh pemimpin yang melempem, penuh polesan, dan pengecut serta tidak memiliki rasa malu. Mereka tidak malu meminta tambahan masa jabatan meskipun minim keberhasilan.
Para pemimpin seharusnya bisa memetik pelajaran berharga dari wabah pandemi. Jangan sampai sebelum, selama, dan setelah pandemi, pribadi dan karakter bangsa Indonesia sama saja, tidak berubah.
Para pemimpin segeralah bermuhasabah atau introspeksi diri memohon ampunan pada Tuhan, jadikan keadaan sekarang menjadi momentum menguatkan keimanan dan ketakwaan kita.
Terutama kepada para pemimpin negeri, mari berintrospeksi dan bertobat.
Dalam situasi sulit sekarang, sudah seharusnya semua pihak menyingkirkan ego pribadi, kelompok, dan golongan. Semua pihak harus bisa meningkatkan rasa peduli terhadap sesama.
Mari hidupkan hati nurani kita untuk saling peduli terhadap sesama dan merajut kebersamaan dengan semua elemen menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.
Pandemi jangan ditunggangi untuk segudang ambisi.
Ojo rumongso biso, nanging biso rumongso (jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa). Petuah Jawa yang sangat mulia ini harus dimiliki setiap pemimpin.
(Sumber: FNN)