Tarmidzi Yusuf
Pegiat Dakwah dan Sosial
Pegiat Dakwah dan Sosial
Mungkin aneh bagi sebagian orang. Moso sih petugas partai melawan ketua umum partainya. Seyogyanya petugas partai loyal kepada ketua umumnya. Sulit memungkiri antara petugas partai dan ketua umumnya sedang ada gejolak. Mau ditutup-tutupi juga pasti tercium oleh publik
Soalnya, sepak terjang Jokowi dalam kaca mata awam lebih loyal kepada LBP dibandingkan ke Megawati. Menurut persepsi awam, LBP lah yang ‘mengantarkan’ Jokowi ke istana negara bukan Megawati. Kok bisa? Bukankah LBP tidak punya partai.
Kabarnya, LBP bolak balik Solo saat Jokowi masih Walikota Solo. Pengkondisian. Sebelum menuju RI 1, ‘mampir’ sebentar di DKI 1. Berhasil. Promosi mobil Esemka. Masuk gorong-gorong. Diliput besar-besaran oleh media. Dari sini awal petaka Indonesia.
LBP itu hanya ‘pinjam’ kendaraan politik PDIP untuk pencalonan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Saat 2014, sebenarnya bukan Jokowi calon yang dikehendaki Megawati. Kabarnya, Megawati di fetakompli atau fait accompli dalam istilah asing, oleh kadernya sendiri. Sekarang kader tersebut harus membayar mahal, nganggur. Gagal jadi menteri dan gagal pula melenggang ke Senayan.
Bukan untuk membuka luka lama. Sekadar mengingatkan, tentu publik ingat dengan Perjanjian Batu Tulis. Jokowi bukan Capres yang bakal diusung Megawati dan PDIP di Pilpres 2014. Fakta berbicara lain.
Mirip-mirip 2014. Aroma persaingan merebut kendaraan politik PDIP untuk 2024 mulai tercium. Akankah preseden 2014 terulang kembali di PDIP? Lembaga survei sedang menggiring opini publik untuk figur 2024. Elektabilitas Puan Maharani dibikin jeblok. Elektabilitas Ganjar Pranowo jauh meninggalkan Puan Maharani. Publik sudah bisa membaca arahnya kemana. Lembaga survei sekarang sulit dipercaya.
Pasca Jokowi ‘dimenangkan’ KPU dan MK tahun 2014 dan 2019, Megawati orang pertama yang kecewa dengan susunan kabinet Jokowi. Lebih parah lagi susunan kabinet 2019, kabarnya Megawati kecewa berat. Pos kementerian strategis, TNI dan Polri banyak dipegang loyalis LBP. Hanya menyisakan Jaksa Agung. Orang Megawati tersingkir dalam jabatan politik strategis nasional. Sekarang pun berhembus kencang kalau posisi Kepala BIN Budi Gunawan digoyang. Membuat Megawati makin meradang.
Tidak berlebihan bila ada anggapan, Jokowi memberikan otoritas lebih kepada LBP. Bahkan LBP lah Presiden yang sebenarnya. Jokowi Presiden de jure. De facto LBP Presiden. Megawati terkunci.
Kasus Jiwasraya, Asabri, Harun Masiku dan Bansosgate adalah empat kasus yang ditengarai ‘perang’ tersembunyi antara Jokowi dan Megawati. Saling bongkar skandal. Saling sandera.
Perang terbuka antara Jokowi dan Megawati, akhir-akhir ini lebih panas. Misalnya soal baliho Puan Maharani dibully habis-habisan. Sementara Ganjar Pranowo dipuja puji lembaga survei dan media. Dua hal yang sangat bertolak belakang.
Selain itu, di internal PDIP sedang mengalami pembusukan. Saat Emir Moeis terpidana kasus korupsi diangkat jadi Komisaris PT. Pupuk Iskandar Muda. PDIP habis diserang publik. Padahal, pengangkatan Komisaris BUMN harus persetujuan Presiden. Tapi yang diserang publik partai asalnya Emir Moeis.
Persaingan posisi strategis lainnya adalah soal pergantian Panglima TNI. Kabarnya, Jenderal Angkatan Darat yang didukung Megawati bukan jagonya LBP. Hingga kini restu Jokowi untuk jenderal tersebut belum keluar. Sepertinya Jokowi lebih condong ke jagonya LBP. Rumornya, jago LBP seorang bintang tiga AD dan bintang AL.
Perebutan posisi strategis lainnya tidak berhenti di Panglima TNI. Diprediksi perang terbuka antara Megawati dan Jokowi bakal makin seru. Saling sandera dan saling jebak untuk saling menaklukan.
Bandung, 1 Muharram 1443/10 Agustus 2021