Koruptor Tak Layak Awasi BUMN
LAMA hilang dari sorotan publik, pada 18 Februari 2021 lalu nama Emir Moeis muncul sebagai komisaris PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), yang merupakan anak usaha perusahaan milik negara Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). Penunjukan politikus senior PDIP itu memancing pertanyaan: apakah tak ada orang lain yang mampu di negeri sebesar ini sehingga bekas koruptor pun ditugasi menjadi pengawas perusahaan milik negara?
Emir terbukti korupsi, menerima sogokan sebesar US$ 357 ribu dari PT Alstom Power Amerika dan PT Marubeni Jepang terkait dengan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung. Tiga tahun mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, dia bebas pada 2016. Diduga penunjukan Emir tidak lepas dari posisinya di PDIP.
Memang, pengangkatan dewan direksi dan komisaris PIM lebih banyak ditentukan oleh pemegang saham langsung, yakni PIHC. Tapi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir tidak bisa berlindung di balik struktur manajemen tersebut. Selaku perwakilan negara, Kementerian masih memegang saham dwiwarna seri A di setiap anak usaha BUMN. Dengan demikian, pengangkatan komisaris di setiap anak usaha tetap memerlukan persetujuan Kementerian BUMN.
Apalagi pengangkatan Emir jelas melanggar peraturan Menteri BUMN tentang persyaratan dan tata cara pengangkatan serta pemberhentian direksi dan komisaris anak perusahaan BUMN. Misalnya, ada aturan bahwa calon komisaris harus memenuhi persyaratan materiil, di antaranya penilaian riwayat hidup. Lolosnya Emir menunjukkan bahwa penilaian tersebut tidak dilakukan. Atau, jika itu dilakukan, integritas tim penilai yang menganggap mantan narapidana korupsi layak mengawasi perusahaan milik negara patut dipertanyakan.
Saat mulai menjabat, Erick sesumbar hendak mereformasi pengelolaan BUMN. Nyatanya, Erick masih sama saja dengan menteri-menteri terdahulu, yang menjadikan BUMN dan anak usahanya sebagai gula-gula buat orang-orang yang terafiliasi dengan partai, politikus, dan pejabat.
Mungkin membosankan, tapi seruan ini harus terus kami sampaikan: berhentilah memperlakukan perusahaan negara sebagai alat tawar kekuasaan. BUMN bukan milik menteri, bukan milik partai, bukan juga milik presiden. BUMN adalah milik negara, yang oleh undang-undang diberi tugas membantu perekonomian, menyediakan barang dan jasa, membuka lapangan kerja.
Mendudukkan sembarang orang, apalagi koruptor, di tampuk kepemimpinan BUMN sama saja dengan mengkhianati tujuan tersebut. Kerugian negara jadi berlipat: selain membayar mahal orang yang tak patut, langkah itu melemahkan upaya pengawasan BUMN sendiri. Ya, bagaimana mungkin mengepel lantai dengan kaki penuh lumpur.
Menteri Erick pernah mempopulerkan jargon AKHLAK, maksudnya dalam BUMN seseorang mesti amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kooperatif. Semestinya dia membuktikan hal itu dengan menunjuk orang yang benar untuk mengelola dan mengawasi BUMN.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, 6-8-2021)