[Catatan Agustinus Edy Kristianto]
Hari Kemerdekaan saat pandemi adalah sesuatu. Pandemi bukan petaka. Yang masalah adalah cara kita meresponsnya. Yang bermasalah adalah cara Presiden Jokowi menghadapinya.
Terutama soal kematian.
Berapa jumlah rakyat yang meninggal karena Covid-19? Bagaimana Anda mencatatnya? Apakah itu death rate atau mortality rate? Di mana makam mereka? Bagaimana mereka dimakamkan? Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan? Bagaimana bisa data kematian ditutup dengan alasan perlu dirapikan dulu? Apa yang dirapikan? Bagaimana bisa selama ini tidak rapi?
Intinya banyak yang mati. Satu kematian sudah terlalu banyak. Kemiskinan adalah hulu utama penyebabnya. Ketidakadilan ekonomi adalah akar kemiskinan itu.
Tidak usah banyak pidato, mengapa Presiden Jokowi tidak kumpulkan semua pembantunya di tangga Istana--seperti saat dengan bangga diperkenalkan sebagai menteri--dan meminta maaf telah gagal menangani kematian rakyat. Kita perlu tahu bagaimana rupa orang-orang yang digaji negara untuk bertanggung jawab atas hal itu.
Kita tidak merdeka. Saudara-saudara kita wafat, yang bahkan angkanya pun ditutup di aplikasi.
Dalam pikiran, perbuatan, dan kelalaian, pemerintah salah. Akui itu!
Teknologi an sich tidak serta-merta menunjukkan kita telah merdeka. Lancar menelurkan istilah blockchain, 2.0, Unicorn dll tidak menunjukkan kepala Anda merdeka. Beli saham Bukalapak dan membanggakan GoTo bukan ciri pemerintahan yang merdeka.
Silicon Angle (16/8/2021) menulis Google dan Facebook merencanakan pembangunan kabel internet bawah laut (190-terabyte/detik) sepanjang 7.450 mil yang menghubungkan Jepang, Taiwan, Guam, Filipina, Indonesia, dan Singapura: Apricot. Sebelumnya Microsoft melakukan hal serupa dengan data center bawah laut.
Indonesia bisa apa? Di mana posisi kita di tengah pertarungan raksasa teknologi itu? Apa kabar kedaulatan?
Satu yang pasti, raksasa teknologi ada sebagai pemegang saham unicorn yang dibanggakan presiden. Obligasinya dibeli BUMN Telkomsel Rp6,4 triliun, software-nya dipakai anak sekolah dan dibeli pakai APBN, tayangan digitalnya digemari Mendikbud.
Apa karya anak bangsanya? Apa merdekanya?
Terakhir, tidak ada kemerdekaan kalau pejabatnya korupsi, meskipun hanya satu perkara. Korupsi tetap korupsi. Tak usah panjang lebar diuraikan, Anda tahu sendiri betapa parahnya korupsi di negara ini. Mereka pengkhianat negara yang sesungguhnya.
Lalu, pemerintah bilang Indonesia tumbuh?
Tumbuh adalah pasti bagi setiap organisme. Masalahnya seperti apa tumbuhnya? Apa ukurannya? Siapa yang menikmati pertumbuhan?
Anthoni Salim dan 471 WNI yang memiliki kekayaan di atas Rp1 triliun jelas duduk paling depan menikmati pertumbuhan atas nama kemerdekaan.
Hormat saya untuk para pendiri bangsa ini. Cita-cita konstitusi akan kita teruskan.
Caranya dengan bersatu, disiplin, dan lebih cerdas untuk menyaring mana pemimpin berkualitas mutiara, mana yang sekadar kacang polong.
Salam Indonesia.