Jokowi vs Habib Rizq
Oleh: Nuim Hidayat (Anggota MIUMI, DDII dan MUI Depok)
Dalam pemilu 2019 lalu, kita ingat Habib Rizq mendukung habis-habisan Prabowo. Ijtima' Ulama yang dipelopori Habib, mendukung anak Sumitro Joyohadikusumo itu. Tokoh-tokoh Islam, seperti Ustadz Abdussomad, ustadz Adi Hidayat dan Amien Rais juga mendukung penuh.
Takdir berkata lain. Prabowo kalah. Sejumlah kecurangan pemilu 2019 disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, tapi kandas. MK ketok palu Jokowi pemenangnya.
Umat Islam berharap Prabowo berani bersikap oposan terhadap Jokowi. Tapi ternyata mental Prabowo lemah. Bila Amien Rais dan tokoh-tokoh Islam lain tetap kritis kepada Jokowi, Prabowo malah masuk kabinet. Masuknya mantan Pangkostrad ini ke kabinet Jokowi diduga untuk mengumpulkan pundi-pundi untuk maju lagi sebagai Capres 2024. Pimpinan Gerindra telah menyatakan terus terang Bowo akan maju lagi 2024.
Umat kecewa. Kini umat Islam banyak yang mengharap Anies Baswedan sebagai capres 2024. Kepemimpinan, keberanian dan kepiawaian Anies dalam mengambil kebijakan dan berkomunikasi, menjadi magnet utama dirinya maju 2024.
Habib Rizq bisa disebut tokoh yang menggerakkan Aksi 212 untuk mendukung Anies. Jutaan manusia yang memenuhi kota Jakarta waktu itu, akhirnya berhasil menggagalkan Ahok untuk jadi gubernur. Padahal Ahok didukung dana melimpah, istana dan banyak partai besar.
Maka jangan heran, kalau ada tokoh yang menyatakan bahwa tokoh yang paling ditakuti istana saat ini adalah Habib Rizq. Maka jangan heran sebelum Habib ke Saudi, ia dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan.
Sekitar tahun 2015, saya hadir di pertemuan kelompok yang menamakan dirinya Islam Moderat di Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba Jakarta. Dalam pertemuan itu seorang pembicara mengemukakan hasil surveinya, tentang siapa tokoh yang paling ditakuti di Indonesia? Jawabannya adalah Habib Rizq.
Habib memang telah dizalimi oleh istana dan pendukungnya. Organisasinya dibubarkan tanpa pengadilan, pengawalnya enam pemuda Islam dibunuh dan kini ia dan kawan-kawannya mendekam di jeruji besi.
Habib diadili tanpa jelas kesalahannya. Kasus kecil kerumunan dan soal Covid 19, ia dikriminalkan. Dalam sidang pengadilan, Habib dengan bagus sekali membantah semua argumen dari Jaksa. Jaksa pun keteteran membantah argumen Habib.
Apa yang ditakuti istana kepada Habib? Kata-katanya. Orasinya. Ya kata-kata Habib bagaikan sihir, sehingga orang sulit membantahnya. Argumen-argumennya yang kokoh dan keteguhannya dalam Islam, menjadikan istana ketakutan. Kata-katanya dapat menggerakkan orang.
Hari ini sedang berlangsung Sidang Banding untuk kasus Habib. Banyak orang berdoa untuk kebebasannya. Tapi kita tidak tahu vonisnya, karena hakim di Indonesia kadang-kadang menyerah bila ada tekanan penguasa.
Habib tentu berduka. Terutama karena pemerintah membubarkan FPI. Organisasi massa harusnya dibubarkan lewat pengadilan, tapi FPI tidak. Ia hanya dibubarkan oleh keputusan sejumlah menteri. Tentu keputusan menteri itu sepengetahuan presiden.
Kita ingat tokoh PDIP dalam acara ILC mendorong pembubaran FPI. Alasannya karena dalam AD/ART nya tercantum kata khilafah. Padahal arti khilafah disitu adalah kerjasama negeri-negeri Islam.
Tapi para pembenci Habib, nggak mau tahu. Mereka punya target membubarkan FPI. Organisasi FPI adalah organisasi yang solid dan kader-kadernya militan dalam gerakan amar makruf nahi mungkar di berbagai daerah. Dalam gerakannya, FPI seringkali bekerjasama dengan kepolisian dalam melancarkan aksinya
Sikap istana yang membenci Habib tanpa alasan ini, menjadikan Fadli Zon mengeluarkan pernyataan keras, banyak genderuwo dan kaum Islamofobia di istana.
Jokowi sendiri bila kita telaah biografinya, maka ia tidak punya ilmu yang cukup dalam menilai Habib atau FPI. Ia tentu minta nasihat dan masukan dari orang-orang kepercayaannya di istana. Malangnya orang-orang yang dekat Jokowi banyak yang 'Islamofobia'.
Bila Habib lancar dalam bicara, Jokowi seringkali gugup dalam berkata-kata. Kelemahan Jokowi lainnya adalah ia suka mengingkari janji. Sehingga ia sering menjadi olok-olokan di internet, karena kebohongannya.
Beberapa orang menasihatkan ada pertemuan antara Habib dan Jokowi untuk meredakan ketegangan politik. Tapi sayangnya di kalangan istana sendiri nampaknya tidak mau ada pertemuan itu. Dikerangkengnya Habib menunjukkan istana dan pendukungnya takut kepada Habib.
Bagi istana, berat bagi mereka menghadapi Habib bila ia bebas. Istana takut ada aksi lagi yang digerakkan seperti aksi 212. Sebuah ketakutan yang berlebihan (paranoid). Habib adalah seorang ulama yang ingin perdamaian, keadilan dan kemakmuran di negeri ini. Memenjarakan dan menvonis Habib dengan tindak pidana yang ia tidak lakukan, berarti kezaliman yang luar biasa kepada Habib. Dan Allah yang Maha Kuasa suatu saat akan menghinakan sang penzalim. Gusti Allah mboten sare. Wallah azizun hakim.(*)