Ahmad Khozinudin
Advokat
Direktur Intelkam (Dirkrimum) Polda Sumsel, Ratno Kuncoro pernah menyatakan Heriyanti telah ditetapkan sebagai tersangka. Pengusaha asal Aceh Timur ini dijerat dengan Pasal 15 UU No.1/1945 tentang Peraturan Hukum Pidana mengenai penyebaran berita bohong dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
Namun belakangan, Supriadi meralatnya dengan mengatakan Heriyanti masih berstatus saksi dan masih dalam proses pemeriksaan.
“Belum, yang menetapkan tersangka adalah Pak Dirkrimum. Rekan-rekan tahu semua dalam proses penyidikan, Pak Dirkrimum yang punya kewenangan dan beliau menyampaikan ini masih dalam proses pemeriksaan,” kata Supriyadi (5/8).
Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol Eko Indra Heri, menyampaikan permohonan maaf soal hoax bantuan Rp. 2 triliun Akidi Tio melalui anak bungsunya, Heriyanti. Eko pun mengakui tidak menyelidiki kebenaran jumlah uang yang hendak diberikan keluarga Akidi Tio sebelum menggelar seremoni pada Senin (26/07).
“Sebagai pribadi ini kelemahan saya sebagai pemimpin, sebagai manusia biasa saya mohon maaf, ini terjadi atas ketidak hati-hatian saya. Sebagai pribadi dan Kapolda Sumsel saya mohon maaf atas kegaduhan ini,” kata Eko saat menggelar konferensi pers di ruang kerjanya, Kamis (05/08).
Pelepasan Heriyanti dan keluarganya dari jerat pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana sangat melukai hati publik khususnya umat Islam. Sebab, keonaran yang diterbitkannya oleh Heriyanti dan keluarga soal hoax sumbangan Rp. 2 Triliun telah menghebohkan seantero negeri. Bahkan, sejumlah buzzer seperti Ade Armando, Deny Siregar dan Abu Janda telah menerbitkan fitnah dan kebencian kepada umat Islam berbasis bantuan hoax Akidi Tio.
Umat Islam dituduh tidak cinta bangsa ini, lebih mementingkan Palestina, sumbangan umat Islam tidak ada nilainya ketimbang Akidi Tio, Narasi Kadrun, hingga pengesampingan peran umat Islam dan lembaga Islam seperti Muhammadiyah dan NU yang telah banyak berbuat untuk membantu mengatasi pandemi Covid-19.
Apa yang dilakukan Heriyanti Akidi Tio benar-benar telah memenuhi unsur pasal 14 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946 yang menyatakan :
“(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.”
Unsur ‘Barang Siapa’ ini berlaku untuk setiap orang yang membuat atau terlibat mengedarkan berita bohong bantuan Rp. 2 Triliun. Pelaku utama, jelas Heriyanti anak Akidi Tio dan keluarganya. Mereka inilah, sumber hoax.
Namun demikian, seluruh pejabat yang ikut mengumumkan bantuan bodong ini, baik Kapolda Sumsel bahkan Gubernur Sumsel juga terlibat, setidaknya ikut mengedarkan berita bohong. Sehingga, kalaupun tidak bisa dijerat pasal 14 ayat (1), dapat dijerat dengan ketentuan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 yang menyatakan :
“Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.”
Kapolda dan Gubernur Sumsel telah menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, karena bantuan itu belum nyata, uang belum diterima sehingga ada potensi bantuan itu patut diduga bohong. Semestinya, Kapolda dan Gubernur Sumsel menahan diri untuk tidak ikut mengabarkan ihwal bantuan -bahkan dengan seremonial berlebihan- sebelum uang bantuan Rp. 2 Triliun itu benar-benar sudah diterima (ditangan).
Kapolda dan Gubernur Sumsel semestinya juga mengerti atau setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa bantuan yang belum diterima uangnya adalah hoax dan akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat saat memblow up nya kepada publik.
Unsur ‘menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong’ terpenuhi dengan terbukti tidak adanya bantuan Rp. 2 Triliun sebagaimana dikatakan Heriyanti. Dengan tidak dapat dicairkannya bantuan Rp. 2 Triliun, sudah cukup mengkonfirmasi bahwa Heriyanti dan keluarga Akidi Tio telah mengedarkan hoax atau kabar bohong.
Adapun unsur ‘dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat’* terpenuhi karena pengumuman tentang bantuan bodong ini dilakukan secara terbuka kepada publik, diketahui umum dan bahkan dengan seremonial sehingga menjadikan unsur ‘menyiarkan pemberitahuan bohong’ ini terpenuhi secara sempurna.
Kapolda Sumsel sendiri telah mengaku salah dan meminta maaf atas kegaduhan yang ditimbulkan. Frasa ‘kegaduhan yang ditimbulkan’ yang disampaikan Kapolda Sumsel memperkuat konfirmasi terbitnya keonaran ditengah masyarakat.
Tapi begitulah, hukum di negeri ini suka-suka penguasa. Heriyanti dan keluarga Akidi Tio tidak ditahan, dilepaskan dengan berbagai dalih. Semua yang terlibat hoax bantuan bodong Rp. 2 Triliun ini juga tidak dijerat secara hukum.
Beda, beda sekali dengan apa yang diterapkan terhadap Habib Muhammad Rizieq Shihab, Habib Hanif, Ust Sobri Lubis, dan sejumlah petinggi FPI lainnya. Hanya karena mengumumkan dirinya sehat, Habib Rizieq Shihab langsung ditahan dan akhirnya divonis 4 tahun*, dijerat dengan pasal mengedarkan berita bohong sebagaimana dimaksud dalam 14 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946. Habib Hanif dan lainnya, juga ikut dijerat karena dianggap terlibat mengedarkan berita bohong.
Inikah hukum yang disebut adil ? inikah, yang digembar-gemborkan dengan slogan ‘Equality BeforeThe Law’ ? inikah, hukum yang tidak tebang pilih dan tidak pilih tebang ?
Penulis jadi teringat firman Allah SWT, yang menyatakan siapapun yang menerapkan hukum selain hukum Allah SWT terkategori dzalim. Al hasil, mustahil umat Islam mendapatkan keadilan jika hukum yang diterapkan bukan hukum Islam.